12. Enam Bulan Terakhir

39 11 7
                                    

PEMBACA YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG MENGHARGAI KARYA PENULISNYA  

"Terima kasih telah menempatkanku pada pilihan kedua, setidaknya aku berada setingkat lebih tinggi dari pilihan ketiga"

Erythrina Hernandia

"Tolong berbaliklah, aku ingin memelukmu lalu mengatakan bahwa aku merindukanmu sejak enam bulan lalu ayah,"

Farel Arian Nugraha

-Senja dan Seberkas Cerita-

Farel memberhentikan mobil hitamnya didepan sebuah rumah berukuran lumayan besar. Rumah tersebut tampak elegan dengan dua pilar yang menyangga bagian depannya. Beberapa ukiran dengan detail cukup rumit turut mengisi sisi pintu utama yang berwarna dominan coklat. Melalui warna coklatnya yang asli, pintu utama itu menampilkan goresan serat-serat kayu yang semakin memperindah tampilannya.

Farel turun dari mobilnya diikuti seorang gadis yang sejak tadi mengisi bangku disamping kemudi. Gadis itu berlari kecil mendekat kearah gerbang besi yang membatasi halaman rumah dan bahu jalan. Gadis itu menyelipkan tangannya kemudian meraih sebuah gembok yang terpasang. Setelah berhasil membuka gembok ia menggeser gerbang itu hingga muncul sebuah celah disana.

"Mau mampir sebentar?" tawar Nandia sembari menoleh kepada Farel yang kini berada disebelahnya.

Cowok itu menimang-nimang tawaran Nandia, ia memandang rumah bercat putih itu sekilas lalu berujar, "Nggak papa?"

Nandia terkekeh pelan, ia berpindah posisi guna memberi ruang agar Farel dapat masuk kedalam. "Yuk masuk," ajaknya.

Farel mengangguk. Namun sebelum ia melangkah masuk terlebih dahulu ia menekan sebuah tombol pada kunci mobilnya untuk memastikan mobilnya telah terkunci. Nandia mengekor dibelakang. Tak lupa ia menggeser gerbang rumahnya agar kembali tertutup.

"Mau duduk didalam atau-"

"Diluar saja, untuk jaga-jaga,"

Nandia mengernyitkan dahinya. "Untuk jaga-jaga?" tanyanya.

"Iya, takut fitnah. Kayaknya nggak ada orang dirumahmu,"

"Oh..." Nandia mengangguk-anggukan kepalanya tanda bahwa ia paham dengan maksud Farel.

"Duduk dulu, Rel, aku mau buatkan minum. Kamu mau minum apa?"

"Nggak usah, aku sedang nggak haus sekarang," ucap Farel seraya mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang terletak di teras rumah Nandia.

"Baiklah, kalau gitu," Nandia ikut melakukan hal yang sama dengan Farel. Ia duduk di sebelah Farel hanya terpisah oleh sebuah meja. Hening sesaat, Nandia sibuk memandangi ujung sepatunya sendiri, pikirannya kosong. Ia bingung membuka topik pembicaraan seperti apa. Nandia melirik Farel yang memandang kedepan. Nandia berdehem untuk mencairkan suasana.

"Rumahmu kelihatan sangat sepi," ujar Farel. Nandia berseru dalam hati karena keheningan diantara keduanya sirna. Namun, ada sedikit kekhawatiran yang merayapinya kala mendengar pernyataan yang terlontar dari mulut Farel. Bukan karena kalimatnya atau makna dibaliknya, melainkan Nandia yakin setelah pernyataan itu muncul akan ada pertanyaan susulan yang Nandia enggan jawab.

"Orangtuamu kemana?" tebakan Nandia terjawab sudah. Malas sebenarnya menjawab pertanyaan semacam itu namun mau tidak mau Nandia harus menjawab pertanyaan yang ditujukan Farel kepada dirinya. "Mereka masih bekerja,"

"Pantesan, setiap aku kesini mereka selalu tidak ada ya, padahal aku ingin ketemu orangtuamu,"

Nandia membelalakkan matanya. Pikirannya langsung tertuju pada satu hal. "Buat apa?" tanyanya dengan nada sebikit terbata.

Senja dan Seberkas CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang