Prolog

8.6K 441 289
                                    

Kedua bola mata mu mampu membawaku ke dalam harapan semu.

***

Agustus 2017, di Jakarta.

KADANG kala, ada beberapa hal yang terjadi namun tidak sesuai prediksi. Mungkin beberapa di antaranya ada yang menimbulkan bahagia. Tapi lebih banyak hal yang menghadirkan luka. Malam itu, di bawah pekatnya awan yang menghitam. Araya jatuh, tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Pandangannya mengabur. Perlahan tapi pasti, air matanya luruh setetes demi setetes. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, ia merasa sesak yang teramat. Terus bertambah, sehingga menyebabkan dada Araya seperti terimpit. 

Dengan tubuh bergetar, ia berusaha berdiri lalu menghampiri kerumunan orang di tengah jalan. Dengan sangat tergesa, ia membelah kerumunan itu. Rasanya begitu menyakitkan ketika melihatnya terkapar tak berdaya. Rasa sesal itu datang lalu melebur menjadi satu bersama lara yang hadir terlebih dulu. Araya kembali mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Ketika semua hal belum serumit ini.

Senja baru saja datang, membentang di angkasa bersama gurat jingga yang terefleksi sempurna. Bersama dengan hilangnya jingga, seorang pemuda tampan baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di kamarnya. Celana jeans lusuh dan kaos hitam yang dipakainya menambah kesan berandal.

Dia langsung membaringkan tubuhnya di kasur king size nya dan menyalakan tv, lalu memindah-mindah channel, dan terhenti saat layar tv menampilkan acara dangdut.

Araya menyalakan tv hanya untuk mengusir hening karena malam ini, Kakaknya tidak akan pulang ke rumah. Selain karena faktor nakal dari Aksara, juga karena besok adalah hari Minggu.

Araya meraih ponselnya yang berada di atas bantal, lalu dia membuka aplikasi chat dan mulai mengetikkan sesuatu.

Pintu kamar Araya terbuka, menampilkan anak kecil berusia sepuluh tahun sedang menatapnya dengan muka yang hampir menangis.

Araya bergegas membawa Dafina ke dalam pangkuannya saat dia sudah berada di atas kasur. Dengan senyuman memikatnya, Araya bertanya kepada adik kandungnya itu.

"Dafina kenapa?"

Dafina menyandarkan tubuhnya ke dada Araya, lalu mulai bercerita tentang penyebab kenapa dia ingin menangis. "Dafina mau jalan-jalan Kak, ini kan malam Minggu masa cuma di rumah. Tapi kata Mama, nggak boleh." Dafina menggembungkan pipinya, kesal.

"Ya udah, Dafina jalan-jalan sama Kak Araya aja gimana? Nanti kita lewat pintu belakang biar nggak ketauan Mama." Dafina langsung menatap Araya dengan mata berbinar.

Tanpa mereka sadari, Diva—Mama mereka—berdiri di luar pintu kamar Araya dan tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Niat awal Diva ke kamar Araya karena ingin mencari Dafina, sebab ia sudah tidak mendengar rengekan dari putri bungsunya itu.

Senyum samar muncul di wajahnya yang sudah terlihat menua. Diva menghela napas lega, ia bukannya tidak mau ke luar bersama Dafina dan menghabiskan malam Minggu bersama namun ia harus pergi ke arisan rutin di masjid yang diadakan setiap malam Minggu. Ia bergegas menuruni tangga ketika mendengar bahwa Araya dan Dafina akan segera keluar kamar.

Araya menggandeng tangan Dafina keluar dari kamarnya setelah Araya mengambil kunci mobil di atas nakas. Mereka berjalan mengendap-endap menuju pintu belakang yang berada di dekat dapur.

AKSARAYA✅ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang