Jika semesta memberimu pilihan yang menyakitkan, maka itu adalah awal dari akhir bahagia.
***
Agustus 2018, di Jakarta.
Satu tahun kemudian...
JAM di dinding putih itu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Tetapi gadis berparas cantik dengan kulit putih bersih, mata berwarna cokelat terang dengan sorot mata yang tajam dan bibir merah alami, serta hidung yang mancung, sedang bergulat manja di atas tempat tidur queen size nya bersama boneka teddy bear kesayangannya yang berukuran cukup besar.
Hari ini adalah hari minggu. Hari dimana semua orang bisa bermalas-malasan di atas tempat tidur. Seperti yang dilakukan gadis berambut sebahu itu.
Melva membuka dan menyipitkan matanya saat cahaya matahari masuk dari jendela kamar menyinarinya. Kemudian, dia bangun dan duduk di tepi tempat tidur lalu melirik sekilas ke arah jam weker yang ada di atas nakas di samping tempat tidurnya.
Melva terlonjak kaget saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 08.15. Melva melangkah keluar menuju kamar kedua orang tuanya yang berada di lantai satu. Dia berhenti saat kedua bola mata cokelat terangnya menatap pintu kamar Papa dan Mamanya. Dia terdiam sejenak, lalu melangkah masuk.
Melva tersenyum miris ketika melihat sudah tidak ada siapapun di dalam kamar itu. Kedua orang tua nya pasti sudah berangkat bekerja.
"Pa, Ma, jangan kerja terus. Pikirin Melva juga yang kadang pengen menghabiskan waktu bareng Papa sama Mama."
Kadang Melva ingin merasakan masakan Mamanya, ia juga ingin diomeli mamanya karena telat bangun, mendapat nilai buruk, ataupun lupa waktu karena terlalu sering membaca buku. Ia ingin menikmati hal-hal yang biasanya didapatkan teman-temannya. Meskipun teman-temannya selalu mengeluh karena terus-terusan diomeli, Melva justru ingin merasakannya.
Melva menunduk, cairan bening di matanya sudah siap untuk terjun bebas. Namun, dia menahan kristal bening itu agar tidak turun. Setelahnya, cewek itu pun melangkah keluar kamar.
"Non Melva udah bangun?" Tanya Mbok Imah, asisten rumah tangga Desti, Mama Melva. Wanita paruh baya yang berusia lima puluh tahun itulah yang selalu menemaninya sejak kecil. Mungkin, ia lebih dekat dengan Mbok Imah daripada Mamanya sendiri.
Tidak apa-apa, Melva tahu Mamanya ikut bekerja karena menjadi Dokter adalah cita-cita Desti dari dulu. Ia tidak mungkin menyuruh Desti berhenti menjadi Dokter karena keegoisannya. Ia tidak ingin apa yang sudah Mamanya perjuangkan dengan susah payah harus terhenti begitu saja. Oleh sebab itu, Melva selalu berusaha mengerti.
"Iya, Mbok."
Mbok Imah mengangguk-angguk. "Kalau Non mau makan, makanannya sudah Mbok siapkan."
Melva tersenyum hangat. "Makasih ya, Mbok. Yaudah Melva ke kamar dulu."
"Baik, Non."
Melva melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Beberapa menit setelah ia menyelesaikan ritual mandinya, Melva keluar menggunakan baju berwarna hitam dengan celana jeans berwarna biru dongker selutut yang sudah membalut rapi tubuhnya.
Melva berjalan ke arah tempat tidurnya. Cewek itu mengambil ponsel yang ia letakkan semalaman di bawah bantal. Kebiasaannya yang satu itu memang tidak pernah berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARAYA✅ [COMPLETED]
Ficção AdolescenteAbrisam Elazar Aksara dan Ibrahim Elzattan Araya adalah saudara kembar. Aksara sangat terkenal playboy, suka clubbing, namun ia juga ramah kepada semua orang terutama gadis-gadis yang tertarik padanya. Araya, ia humoris, pintar, dan selalu bisa menc...