[06] Merasa tersaingi

40.4K 4.2K 494
                                    

Kak Enggar hanya tersenyum menatapiku yang bingung sendiri akan kehadirannya itu. Tanpa menunggu pertanyaan melesat dari bibirku, lelaki itu malah bergerak menarik kursi kosong dan langsung duduk dengan santainya.

Dia meletakkan botol air mineral tepat di sebelah laptop. Masih konsisten dengan wajah riangnya, lelaki itu kini malah menopang dagu seolah sedang menunjukkan kalau perhatiannya tertuju penuh untukku seorang.

Kemudian aku menjadi risih ditatapi begitu olehnya.

"Kak?"

Sapaanku pada kak Enggar agaknya terdengar seperti nada bertanya. Kalau dia cukup pintar untuk menebak, pastilah ia akan menjawab kenapa dia tiba-tiba bisa ada di sini sekarang.

"Minum dulu, gih! Pasti haus kan ngerjain tugas segini banyak?" Katanya. Dia pun dengan cekatan membuka tutup botol untuk kemudian disodorkan kepadaku. Aku lagi-lagi melongo.

"Kenapa?" ujarnya lagi saat aku justru diam. "Nggak dimasukin cairan apa-apa kok. Aman! Nih liat masih ada segelnya."

Entah kenapa setelah mendengar kata-katanya yang itu, aku jadi merasa tidak enak. Langsung saja kuterima sodoran botol mineralnya. Dan langsung menenggak dengan beberapa kali tegukan.

Kak Enggar tersenyum puas melihatku meminum air pemberiannya. Aku juga balas tersenyum menyaksikan dia begitu.

"Siapa juga yang ngira minumannya dikasih macem-macem," kataku. Dia pun tertawa renyah sampai beberapa mahasiswa melirik sinis ke arah kami berdua. Mungkin tawa kak Enggar terdengar mengganggu bagi mereka.

"Kak Enggar ada urusan apa ke sini? Mau nyari buku?" tanyaku setelah tawa lelaki itu reda. Dia kemudian batuk-batuk sebentar. Lalu berdeham agar tenggorokannya terasa lega.

"Mau nyari elo," ucapnya lugas. Setelah itu, aku jadi kikuk sendiri. Apa maksudnya dia mencariku? Apa dia minta bantuanku lagi untuk penyuksesan acara Design Expo fakultas?

"Ada apa emangnya, Kak?" Aku penasaran. Barangkali memang benar dia ke sini untuk urusan acara tersebut. Lagian, aneh rasanya jika dia tiba-tiba datang ke sini hanya untuk menemuiku tanpa perihal apa-apa.

"Gue pengen nemenin lo aja sih. Siapa tau dengan gue ada di sini, ya kali lo bisa jadi tambah semangat," ujarnya santai.

Dan ternyata keadaan memang memilih aneh.

Menemaniku? Agar aku lebih semangat? Memangnya dia punya pengaruh macam apa?

Kak Enggar menggeser kursinya lebih dekat denganku. Lelaki tinggi berisi itu sekarang malah menarik laptopku dan mengecek apa yang kukerjakan tadi. Yang membuatku heran, dia bisa-bisanya melakukan itu seolah kehadirannya di sini memang sudah kusetujui.

"Ini mata kuliah yang dosennya Pak Amirul kan? Gampang kalo sama dia mah, yang penting kita–"

"Yang penting kita harus jaga jarak, apalagi sama cewek yang udah punya pacar!"

Tanpa kuduga, Fero muncul dari pintu perpustakaan dengan masih mengenakan seragam praktek jurusannya. Lelaki itu berjalan lambat dengan tatapan yang aku tahu pasti itu adalah sinyal buruk untuk ... untuk kak Enggar yang menjadi objek tatapannya sekarang.

Kulihat kak Enggar, dia hanya bereaksi tenang seolah punya kekuatan pada dirinya sendiri. Yang bilamana sesuatu berusaha mengusiknya, dia tak akan terpengaruh sedikitpun. Dia belum tahu saja bagaimana Fero jika sedang tidak suka akan sesuatu.

"Fre? Beresin barang-barang kamu. Jam segini perpus biasanya angker. Banyak setannya," sindir Fero yang masih menghunuskan pandangan ke kornea kak Enggar. Walaupun ucapannya cenderung lirih, tapi aku bisa membaca situasi kalau Fero sedang spaning saat ini.

PreferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang