"Semenjak ada kamu, rasa takut kehilangan tidak pernah sampai pada level setinggi ini."
➖
Sejak Fero mengumumkan kalau dia akan menjauhi Nagia, sekarang bisa dibilang hubungan kami berjalan kembali seperti dulu. Tak ada rengekan-rengekan yang dianggap cemburu, tak ada lagi debat-debat maut, dan tak ada juga air mata yang keluar sia-sia karena gadis bermuka dua itu.
Aku senang. Pada akhirnya Fero memilih berjarak dengan Nagia. Walaupun aku masih tak yakin, dia melakukan itu benar karena memercayaiku, atau hanya mengalah saja supaya aku tidak pisah dengannya.
Tapi apapun yang ada di pikiran Fero, aku tak peduli. Yang penting lelaki itu sudah berjanji akan menjarakkan diri dari si medusa. Dan tugasku sekarang adalah, mengawasi dia apakah benar melaksanakan janjinya atau tidak.
Lagi pula, aku juga menghargai usaha-usahanya agar tetap bertahan denganku. Saat dia memohon kemarin, sebenarnya aku sudah tidak tega. Tapi memang seperti itulah cara menghadapi laki-laki yang bersalah. Jangan karena dia tahu aku menyayanginya, dia jadi berpikir kalau maaf dariku merupakan hal yang mudah.
Meskipun juga sebenarnya dia tak seratus persen salah–tapi aku juga–setidaknya dia sudah berjuang untuk mempertahankanku. Dan tak mengiyakan saat aku hampir melambaikan bendera putih tanda menyerah di hadapannya.
Kupikir kejadian itu akan menjadi evaluasi yang panjang untuk hubungan kami. Baik untuk Fero, yang harusnya memercayaiku. Baik untukku, yang harusnya lebih handal mengupas masalah ini lebih jauh.
Karena setelah ini, aku punya rencana lain untuk membuat Nagia risih. Cara yang tak perlu pakai adu mulut berkepanjangan, cara yang tak perlu harus melibatkan orang lain, dan cara yang jauh dari kata kekerasan atau tindakan mencelakai secara sengaja.
Karena aku akan menyerangnya lewat hati. Lewat perasaan.
Aku akan mengintimidasinya dari dalam. Tanpa ada satu orang pun yang tahu bagaimana dia akan hancur perlahan.
"Hei! Kok ngelamun?"
Aku mengerjap. Berusaha menyadarkan diri sedang di mana aku saat ini. Kutoleh Fero yang tampak bingung melihatku menjadi batu beberapa saat yang lalu. Matanya terus menelusuri wajahku, berusaha menebak kenapa aku tiba-tiba jadi diam begitu.
"Kelamaan ya nunggu aku?" tanyanya. "Abis tadi banyak banget anak kecil yang beli ginian juga. Mana abang-abangnya ngeduluin mereka semua."
Fero mengulurkan sebungkus permen kapas yang baru saja ia beli sambil memasang tampang masam. Kelihatannya dia kesal habis berlama-lama mengantre jajanan itu.
Aku tertawa. Memang, tadi dia membelikanku permen kapas karena aku sempat melihat lama ke arah penjual permen tersebut. Dan mungkin Fero berpikir kalau aku mau itu.
"Mikirin apa?" tanyanya lagi setelah aku menerima kapas manis merah muda darinya.
Aku menggeleng, "nggak mikirin apa-apa kok."
Tentu saja aku berbohong. Tidak mungkin juga aku bilang padanya kalau aku masih saja memikirkan soal Nagia. Fero pasti akan mengatakan padaku kalau semua itu tak ada gunanya.
"Jangan pikirin hal-hal yang bikin kamu sedih. Pikirin aja apa yang bikin kamu seneng," kata Fero. "Contohnya aku."
Aku tersenyum kecut. Memikirkan dia katanya? Justru dia lah pusat pikiran yang selama ini membuatku uring-uringan. Segala hal yang terjadi padanya belakangan ini membuatku kepikiran sampai kebablasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prefer
Romance[completed] "No matter how much we argue, I prefer stay at you." Sequel FRE & FER Copyrights®️ September 2017 by Rishaatp. SEDANG DIREVISI (Cerita ini hanya untuk kepentingan seru-seruan di wattpad. Dan tidak akan pernah diterbitkan)