[04] Penasaran

47.7K 4.4K 305
                                    

Pernahkah kalian? Memiliki perasaan aneh pada orang yang baru beberapa kali kalian temui? Sebentar, aku perlu waktu untuk mendeskripsikan ini.

Begini,

Biasanya ... setiap orang pasti memiliki aura khusus yang membuat image mereka terbaca jika bertemu orang-orang baru. Entah itu melalui penampilan, atau bisa jadi lewat cara berbicara. Hal-hal seperti itu sangat menentukan first impression orang lain kepada kita.

Pertama kali melihat Nagia, aku sudah terpesona akan kecantikan yang ia punya. Untuk gadis secantik dia, menjadi seorang mahasiswa teknik arsitektur membuatnya memiliki daya tarik tersendiri. Pastilah banyak mahasiswa yang mengincarnya, termasuk Galih, temanku itu.

Tapi, entah kenapa, aku tak dapat membaca energi positif dari dalam diri Nagia. Aku tak bisa menemukan pancaran hangat dari netra sendu gadis itu. Semacam ada aura kasat mata yang membuatku tak nyaman berada di dekatnya. Ah, atau aku hanya sedang berburuk sangka saja?

"Fresha?"

Aku mengerjap. Mengumpulkan kesadaran agar kembali fokus pada sosok tinggi yang baru saja muncul dari bingkai pintu cokelat. Sosok itu tampak bingung melihat gadis setinggi 155 senti sedang berdiri sambil mematung di depan kamar kostnya.

Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Lelaki itu seperti menelaah keadaan sebelum dia menarikku ke dalam ruangan berukuran enam kali empat meter tersebut.

"Udah lama berdiri di depan? Kok nggak ngetok aja sih?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng, kemudian tersenyum. "Nggak papa. Tadinya mau ngetok, eh kamunya keluar duluan."

Ya, kurasa kalian sudah tahu. Kalau aku sedang ngeles saja di depan lelaki itu. Aslinya aku sedang memikirkan pertemuanku dan Nagia yang berlangsung beberapa menit lalu di dekat tangga tadi.

"Ohh," Fero menutup pintu kamarnya pelan. "Kirain kesambet. Abisnya ngelamun gitu. Untung aku udah hapal bau-bau kamu, jadinya langsung tau kalo kamu dateng."

Kami berdua tertawa.

"Yang kamu hapal bau aku, apa bau ini?" Kekehku sambil mengangkat bungkusan mie ayam yang tadi aku bawa. Melihat itu, Fero langsung tergelak dan sok-sok takjub. Rautnya seperti orang yang melihat satu parsel penuh uang seratus ribu.

"Widihh! Enak nih! Tau aja aku lagi laper," katanya setelah aku menyodorkan mie ayam. Lelaki itu langsung gesit mengambil mangkok dan sendok untuk kami berdua. Dasar Fero. Kalau soal makanan saja laju.

Aku duduk di ubin warna putih bersih. Dekat dengan steker listrik yang sedang menyambungkan kabel carger ke laptop Fero yang baru dibelinya sebulan lalu. Kemudian, Fero mendekat dan ikut bersila di lantai. Persis di depanku.

"Kamu kenapa? Dari tadi diem mulu. Folowers instagram ilang satu ya?" Fero menebak sambil terkekeh. Kubalas lelaki itu dengan raut wajah merengut.

"Enggak, ish! Ya kali deh," kataku.

"Haha! Ya trus kenapa? Ada masalah? Si Enggar-enggar itu minta tolong aneh-aneh ya ke kamu?" Tebaknya lagi.

Ya, Fero tahu siapa kak Enggar. Aku sudah cerita padanya soal kakak tingkat yang meminta bantuanku untuk menyukseskan acara Design Expo tahunan di fakultas itu.

PreferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang