[24] Eksekusi

39.5K 5.2K 2.1K
                                    

"If it hurts me so much, what kind of love is this?"

5 seconds of summer-Amnesia🎵


Meski berat, aku tetap memaksakan kelopak mataku agar terbuka. Stiker bintang yang menempel di langit-langit itu masih sama seperti yang terakhir kali kulihat. Warna dan aroma ruangannya pun sama. Tak ada yang berubah. Hanya sedikit berantakan saja.

Kusibak selimut tebal yang menutup tubuhku. Lalu berusaha duduk walau pandanganku masih samar-samar. Sekuat tenaga, kutahan rasa sakit yang mengerubungi kepala. Walau keadaan bumi ini seolah bergetar, tapi aku hanya ingin sadar dengan kondisi sekitar.

Aku sedang berada di kamar Najla.

Apa yang terjadi semalam?

Kenapa siang ini aku terbangun di kamarnya?

Saat aku sibuk berpikir dan memegangi bagian kepala yang pusing, seorang gadis membuka pintu kamar. Ketika pandangan kami bertemu, dia pun memanggil seseorang di belakangnya. Setelah itu, dia dan kedua temannya masuk menghampiriku.

"Fre? Lo udah bangun?" tanya si gadis yang memakai tanktop warna hitam. Mereka semua mendekat dan duduk di kasur.

Aku mengangguk, juga tersenyum. "Gimana ceritanya gue bisa sampe sini, Naj?"

Najla menoleh ke arah Michi dan Fiona. Lalu balik lagi menatapku. "Kita nemu lo di club semalem. Dan kondisi lo lagi mabuk parah."

Ingatanku lompat pada kejadian tadi malam. Kejadian di mana aku ke kafe David, pergi dari sana untuk mendatangi club, lalu akhirnya secara tak sengaja bertemu mereka.

Jadi, mereka yang membawaku ke sini?

"Lo ngapain semalem ke club? Diundang Vanesha ke acara ultahnya? Eh, lo kenal Vanesha, Fre?" tanya Michi. Jujur saja aku tak ingin menjawab pertanyaan apapun sekarang. Karena kepalaku juga masih sakit.

"Hah? Vanesha? Emangnya dia siapa?" tanyaku balik.

"Lo nggak kenal? Hmm ... berarti lo bukan tamunya Vanesha," gumam Michi.

"Trus kalo gitu, kenapa lo bisa ada di sana? Setau gue, lo nggak bakalan pernah bisa nginjek tuh tempat," sambung Fiona. Michi lantas mengangguk-angguk, menyetujui apa yang Fiona bilang.

"Gue," ada jeda dalam kalimatku. "Nggak tau lagi mau ke mana."

"Hah? Nggak tau lagi mau ke mana? Jakarta seluas ini lo bingung mau ke mana? Rumah lo digusur apa, Fre?" Pertanyaan polos cenderung tak masuk akal keluar dari mulut Michi. Mendengar itu, kami berempat tertawa seketika.

"Gue lagi pengen nenangin diri, Chi." Jawabku kemudian.

"Dari masalah lo, ya?" tanya Najla. Dari raut wajahnya, aku tahu itu bukan pertanyaan basa-basi.

Aku mengangguk perlahan.

"Apa selama ini, setiap lo punya masalah, lo lari ke club?" Selidik Fiona. Mereka memandangiku seolah tengah menginterogasi.

"Nggak, Na. Itu yang pertama gue ke sana," ujarku. Mereka menghela napas. Entah sebagai bentuk kelegaan, entah yang lain.

"Dan harus jadi yang terakhir," ucap Fiona. "Semalam adalah hari pertama dan terakhir lo ke club. Lo nggak boleh nyari ketenangan lagi di sana. Itu bukan tempat yang bagus, Fre."

PreferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang