[11] Siaga satu

32.6K 4.1K 761
                                    

"Dia milikku. Tinggalkan selagi aku belum mau memberimu pelajaran."

Play the mulmed!

Aku masih tak habis pikir Nagia mengirimi Fero pesan dengan dalih tidak bisa tidur semalam. Aku bahkan tak menyangka dia mau datang ke kamar Fero hanya karena alibinya yang kupikir cuma dibuat-buat itu.

Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa dia mengadu pada Fero saat sedang tak bisa tidur? Memangnya dia tak punya teman lain di Jakarta yang segini besarnya? Atau memang dia saja yang mau mencari kesempatan di dalam kelonggaran?

Jelas saja kelonggaran. Karena siapa lagi yang akan mengganggu dia dan Fero kalau sudah tengah malam begitu? Secara mereka satu kostan. Tidak ada aku atau anak-anak Seven Gerrard yang biasanya selalu ada di antara mereka.

Malam itu, pesan dari Nagia langsung kuhapus permanen dari ponsel Fero. Aku melakukannya dengan cepat karena takut Fero keluar dari toilet dan memergokiku. Setelah semuanya aman, baru aku mengembalikan lagi ponsel itu di sofa. Dan berlaku seolah tak ada apa-apa.

Namun saat Fero hendak pulang, aku berusaha menahannya. Aku cuma tak ingin Nagia datang ke kamarnya malam itu. Jadi, aku meminta Fero untuk menginap. Kubilang saja kalau akhir-akhir ini di komplek sedang rawan maling. Fero akhirnya menurut. Dan aku lega.

"Gue kayaknya lebih cocok jadi pengusaha aja," ujar Reynold yang mengangkat kakinya ke atas meja batu. "Tapi sampe sekarang gue masih bingung cocoknya jadi pengusaha apa."

"Pengusaha obat panu mah lo cocoknya," ujar Althaf ngasal. Kulihat David yang sedang asik merokok tertawa.

"Serius ini bangsat," rutuk Reynold. "Gue punya impian mau beli pulau yang isinya cewek pake bikini semua. Makanya gue harus kerja keras ini biar cepet kayanya."

"Lo nanem ganja aje sono," kata Althaf lagi. Kali ini aku yang tertawa mendengarnya.

Kami sedang berada di taman kampus yang memiliki banyak tempat duduk dengan naungan teduh mirip jamur di atasnya. Kebetulan karena jadwal mata kuliah sama-sama kosong, jadi kami berkumpul di sini. Tadinya Fero dan Galih juga ada. Tapi mereka sedang pergi membeli ayam geprek milik artis yang sedang hits itu di luar kampus. Sementara Nagia, aku tidak tahu dia di mana.

"Al, gimana hubungan lo sama kakak-kakak yang kemaren?" tanyaku masih ada sisa ketawa pada Althaf yang baru saja meletakkan ponsel canggihnya.

"Males gue, Fre. Anaknya ribet," jawab Althaf. "Kelewat baper juga. Belom gue apa-apain padahal."

Entah kenapa, aku teringat saat-saat di mana aku pernah terbawa perasaan pada Althaf dulu. Andai dia tahu, perempuan mana pun kalau disenyumi oleh dia, pasti akan merasa mendapat perlakuan yang beda. Perempuan mana pun yang disapa olehnya, akan merasa paling teristimewa.

Benar kata orang, secantik apapun rupa perempuan, laki-laki akan malas jika sudah mengetahui isi hati perempuan itu lebih dulu.

Karena naluri lelaki itu sebagai pemburu.

Ia akan terus mengejar seekor kelinci kecil yang sembunyi di semak-semak daripada menangkap rusa yang jelas-jelas berdiri di dekatnya.

"Kak Kistelya yang cakep-cakep tapi beli followers itu?" tanya Reynold nimbrung. "Budak medsos gitu jangan lo pacarin, Al. Nih gue kasih saran nih. Cari cewek yang kalo lagi ngumpul bisa nahan diri buat nggak bikin instagram story! Langka tuh!"

PreferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang