"Lucunya, sering kali kita melupakan dua perkara;
Tawa paling riang dan tangis paling kencang kerap berasal dari orang yang sama."➖
Althaf tersentak ketika aku menciumi wajahnya dengan beringas. Meski dia tampak bingung, tapi dia tetap meladeni ciumanku sambil terus merapatkan jarak kami. Napasnya memburu. Mungkin dia masih kaget atas seranganku yang mendadak itu.
Kulingkarkan kedua tanganku di belakang leher Althaf. Menjambak-jambak kecil rambutnya. Dia pun membalas dengan menarik pinggangku agar tiada lagi ruang yang tersisa untuk kami bergerak.
Saat menelusuri wajah lelaki itu inchi demi inchi, aku menangis. Di dalam kepalaku, tergambar jelas bagaimana waktu Fero mencium Nagia kala itu. Bagaimana Fero kepergok sedang berdua bersama Nagia di kamarnya.
Jika ada kata yang levelnya lebih tinggi dari rasa sakit, mungkin kata itu sudah pantas mendeskripsikan keadaanku sekarang.
Sayangnya aku tak bisa menjelaskan secara rinci perasaanku. Memang benar kata orang. Semakin dalam perasaanmu, maka semakin sulit kau mengungkapkannya.
Aku bersumpah. Aku tak punya hasrat apapun pada Althaf. Jika kini aku menciuminya seolah dilanda kerinduan hebat, sebenarnya aku hanya sedang berada di tingkat kecewa paling jahat.
Aku tak punya maksud untuk melampiaskan kekesalanku padanya. Sungguh! Aku hanya, tak terima. Pada Fero yang selalu menggampangkan urusan soal menjaga perasaan. Jika dia bisa saja berbuat apapun pada Nagia, kenapa aku tidak bisa?
"Fre..." desis Althaf di sela-sela ciuman kami. Hingga aku lekas sadar dan mulai mengontrol diri.
Apa yang baru saja kulakukan pada Althaf?
Tidak.
Mendadak aku jadi merasa tidak enak padanya.
Belum sempat aku menjawab, sorot pandang Althaf yang sebelumnya terfokus ke mataku beralih ke arah di belakang. Dia lalu mendelik, dan buru-buru melepaskan aku yang masih ia dekap.
Melihat reaksinya, aku kontan penasaran atas apa yang dia lihat. Saat aku berbalik, aku cukup terhenyak melihat sosok yang mematung di ujung sana. Tepat di bawah pohon ketapang yang gelap.
Sosok itu adalah Fero. Dan dia kini memandangi kami dari jauh. Tak ada tanda-tanda dia akan menghampiri atau bertindak sekalipun.
Fero benar-benar mengikutiku sampai ke sini. Lelaki itu benar meninggalkan Nagia di sana. Entah apa yang dia pikirkan ketika taksiku berbelok ke rumah Althaf, satu pertanyaan yang pastinya menyembul dalam kepala:
Apakah dia melihat kejadian antara aku dan Althaf tadi?
Kalau memang benar, lantas mengapa ia tak datang ke sini untuk menghajar Althaf? Bukan keinginanku agar dia melakukan itu, maksudku, apa dia tidak marah atau cemburu?
Biasanya, dia selalu garang saat aku didekati laki-laki lain. Tapi kenapa kali ini dia seolah tak peduli? Kali ini bahkan aku ciuman dengan temannya sendiri. Kenapa dia sama sekali tidak bereaksi?
"Fer!" Panggil Althaf dengan raut wajah cemas. Aku tahu dia pasti merasa bersalah pada Fero.
Di ujung sana, lelaki jangkung itu masih diam. Yang kulihat, dia tersenyum sebentar. Entah apa maksud senyumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prefer
Romance[completed] "No matter how much we argue, I prefer stay at you." Sequel FRE & FER Copyrights®️ September 2017 by Rishaatp. SEDANG DIREVISI (Cerita ini hanya untuk kepentingan seru-seruan di wattpad. Dan tidak akan pernah diterbitkan)