[17] Perang sebenarnya

29.5K 3.9K 827
                                    

"Pihak ketiga hadir karena ketidakbecusan pihak pertama dan kedua. Jadi, apakah kita memilih untuk tidak becus?"

Di dunia ini, ada banyak jenis kebahagiaan yang bisa kita raih. Kita bebas mau memilih bahagia dengan cara yang seperti apa. Entah itu sederhana, atau justru harus mengorbankan banyak hal berharga. Semua bisa kita dapatkan asal mau berusaha dan berdoa.

Tapi, ada segelintir orang yang mungkin terlalu malas mengusahakan kebahagiaannya. Akhirnya, dia cuma tinggal memasang rencana, untuk merebut kebahagiaan orang lain yang ia suka.

Kadang-kadang aku berpikir, pencapaian apa yang dirasakan oleh orang yang sukanya merebut kebahagiaan orang lain. Secara, Tuhan itu Maha adil. Dia sudah menyiapkan kebahagiaan setiap manusia sesuai porsinya. Sangat lucu jika masih ada orang tak tahu diri menganggap apa yang dimiliki orang lain berhak ia miliki juga.

Dari awal aku kenal Nagia, aku sudah merasa ada yang janggal padanya. Entahlah apa yang salah. Intinya, gadis itu memiliki aura negatif yang anehnya cuma bisa dirasakan olehku saja.

Hampir aku salah sangka menganggap dia baik ketika dia bilang akan mendukung hubunganku dan Fero waktu itu. Ternyata itu cuma akal-akalannya saja agar aku bingung. Itulah tipu muslihatnya.

Insiden di mana aku mendorong Nagia, mungkin membuat gadis itu paham. Kalau aku bukan perempuan biasa-biasa yang akan menyerah begitu saja. Walau konsekuensi yang kuterima adalah kemarahan teman-temanku, setidaknya aku bisa melihat jelas siapa diri Nagia sebenarnya.

Karena bagiku, lebih mudah melawan musuh yang terang-terangan mengibarkan bendera perang, daripada melawan musuh yang bersembunyi dalam topeng kebaikan.

Dengan begini, aku juga tak perlu khawatir lagi perlawananku salah sasaran. Karena memang seharusnya aku sudah melakukan ini dari dulu.

Kalau kuingat-ingat ekspresi wajah Nagia ketika ia senang bisa mendapat bibir Fero, kekesalanku pasti membuncah. Bagaimana tidak? Ada perempuan lain yang terang-terangan mencium kekasihmu, tapi kau tak bisa bertindak apapun.

Karena kau kalah oleh situasi. Kau kalah oleh keadaan yang seperti sengaja merencanakan ini semua.

Tapi aku tak bisa membiarkan Nagia hanyut dalam euforia bibir Fero dan napas buatan yang dikeluarkannya. Aku ingin gadis itu sadar bahwa apa yang diterimanya belum lah seberapa.

Meski aku tak sungguhan benar-benar making love dengan Fero, tapi aku hanya mau Nagia menganggap kalau aku sudah apa-apa dengan pacarku itu. Biar saja. Biar dia tahu kalau aku lebih unggul selangkah darinya.

Karena setelah mendengar pengakuan palsuku kemarin, raut wajah Nagia benar-benar berubah. Aku tahu dia tersentak. Atau malah mungkin lebih dari itu.

Dan aku senang. Bisa membuatnya panas walau aku tak ada api yang kuberi untuknya. Minimal, aku sudah memberi satu gertakan yang harus dia pahami, kalau aku siap menjadi lawannya saat ini.

Omong-omong, aku dan Galih sudah baikan. Aku bersyukur perselisihan di antara kami tidak terjadi berlarut-larut hari.

Sebenarnya, aku ingin sekali temanku itu mendengar perbincangan kami semalam. Tapi mungkin sinyal telepatiku tak ditangkap dengan baik olehnya. Niat merekam omongan Nagia saja, baru terpikirkan setelah aku sampai di rumah. Mana bisa aku berpikir begitu di saat aku justru ingin sekali menamparnya ketika dia bicara.

PreferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang