[05] Salah sangka?

40.4K 4.3K 479
                                    

Aku berusaha tenang. Semaksimal mungkin tak terpengaruh apa-apa oleh dua orang di depanku itu. Tapi ini sama saja membohongi diri sendiri. Bagaimana juga, tak akan ada perempuan yang baik-baik saja jika lelakinya berada di dekat perempuan lain. Aku berani bertaruh, semua perempuan yang mengalami ini, pasti merasakan hal yang kurasakan sekarang.

Melihatku hanya diam dan tak bergerak, mungkin Radin dan Natly merasa heran. Dilihatnya sekeliling kantin. Dan saat mereka menemukan objek yang masih kutatapi sejak tadi, baru mereka paham.

"Fre? Itu ... cowok lo kan?" tanya Radin memastikan.

"Fero kok bareng cewek? Lo kenal dia siapa?" Gantian Natly angkat suara. Aku masih tak menanggapi keduanya.

"Fre, kalo gue jadi elo, gue samperin itu cewek, gue tanya dia siapa, gue tanya kenapa mereka bisa barengan, gue tanya semuanya," ujar Natly mengompori. Setelahnya terdengar suara desahan kesal dari Radin.

"Nat, jangan mulai deh!"

"Ya elah, Din! Ini posisinya mereka lagi berdua-duaan loh itu. Masa kitanya diem aja?" Natly bersungut. "Fre, mending lo samperin sekarang. Jangan cosplay jadi patung ramayana gini dong!"

"Fre, diomongin baik-baik aja, siapa tau mereka emang nggak ada apa-apa. Ya?" Radin menasihati sambil meletakkan tangannya di bahuku.

Aku menoleh pada dua gadis itu. Kemudian mereka mengangguk-angguk seolah aku sedang minta persetujuan untuk menghampiri Fero dan Nagia di sana. Akhirnya, karena kurasa teman-temanku menyuruh untuk mendatangi pacarku dan gadis di dekatnya itu, aku pun melangkah mendekati meja mereka.

Kubiarkan Natly dan Radin pergi memilih meja mereka berdua. Sedangkan aku fokus pada meja nomor enam belas yang diisi seorang laki-laki dan perempuan di depannya. Saat jarakku kian dekat, si perempuan ternyata lebih dulu sadar akan kehadiranku.

"Fresha!"

Aku tersenyum. Itu refleks karena tidak mungkin juga saat dia menyapaku aku memasang tampang datar. Padahal ada sekelebat pikiran untuk melakukan itu pada Nagia. Tapi, ah, kupikir tidak lah. Lebih baik kusenyumi saja. Walau tak ikhlas rasanya.

Mendengar Nagia berseru, Fero pun menengok ke samping. Raut wajahnya semringah seperti biasa.

"Udah keluar? Kok tumben cepet?" Fero menggeser kursi di sebelahnya untuk kududuki. Sejauh ini, belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku.

"Udah makan belum?" tanya Fero. "Mau aku pesenin?"

"Kamu kenapa nggak bales chat aku?" Bukannya menjawab pertanyaan lelaki itu, aku malah menjejalinya pertanyaan lain. Fero lantas merogoh sakunya, mengambil ponsel dan meletakkan di atas meja.

"Hape aku lowbat. Tuh mati layarnya." Fero menekan tombol power, gayanya seperti sales-sales konter hape yang sedang memperlihatkan fitur-fitur dari ponsel yang ia pegang.

Aku ikut mengecek, dan ... memang ponsel lelaki itu kehabisan baterai.

"Kamu kok bisa di kantin? Trus ... yang lain mana?" Aku bertanya lagi sambil sesekali melirik ke arah Nagia yang hanya diam di tempatnya.

"Tadi dosen yang ngajar aku nggak dateng. Makanya aku ke sini. Althaf lagi ke sekretariat, tadi katanya gitu. Nggak tau mau ngapain. Kalo yang lain, lagi ada urusan sama dosen yang masuk jam tujuh tadi." Jawab Fero santai. Ya, dia benar-benar santai seolah memang ini hanya perkara sepele.

"Trus kok bisa berdua sama Nagia? Ngg–maksudnya, kamu nggak ada urusan juga sama dosen yang tadi pagi?" Pertanyaanku agaknya terkesan menginterogasi.

"Siapa bilang berdua? Itu Galih lagi mesen makanan!" Fero menunjuk pada sosok laki-laki di tengah antrean membeli ayam kremes melalui sorot matanya. Aku jadi ikut menoleh, dan mendapati jika Galih memang sedang ada di sana.

PreferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang