[20] Depresi

34K 4.6K 2.2K
                                    

"Aku sedang berada pada titik terlemah. Aku butuh penyangga. Lenganmu salah satunya."

Play the mulmed😢

Mataku mengerjap menatap langit-langit yang seperti berputar di atas kepala. Aku mengerang. Merasakan sakit yang teramat sangat di bagian bawah serta wajah. Kutarik kepalaku untuk menghadap sesosok laki-laki yang kini menindihku di perut. Ingin sekali aku membunuhnya, tapi tubuh ini teramat kaku untuk digerakkan.

Satu tamparan keras melayang padaku lagi, memaksa aku untuk sadar secara penuh keadaan saat ini. Pipiku masih basah, masih terlihat jelas anak-anak sungai yang mengalir di sana.

"Bangun lo," titah Kak Enggar. "Gue nggak suka main kalo lawan gue nggak ngerespon gini."

Aku memilih tak bersuara. Kedua tanganku masih ia bungkus dengan satu tangan miliknya. Perlahan pupil mataku bergeser ke bawah untuk memastikan, ternyata Kak Enggar belum meloloskan celana jeans-ku.

"Gue mau lo teriak, mendesah, atau apalah itu," ujar dia lagi. "Gue nggak doyan maen kalo elonya diem."

"Gue mau kita sama-sama nikmatin, Fre." Sambungnya lagi, sebelum dia tersenyum licik. "C'mon! Lo nggak mau kan gue berasa maen sama gedebok pisang?"

Aku berdecih, dalam hitungan sekon wajah Kak Enggar sudah ternoda oleh air liur yang kupunya. Dia mengelap cairan itu, lalu beralih menatapku begitu bengis.

"Gue lebih baik mati daripada ngeladenin nafsu bejat lo," lirihku yang terdengar seperti kalimat putus asa. Dari bawahnya, aku bisa merasakan jika lelaki itu sudah mulai naik darah.

"Gue nggak nyangka ya," sambungku. Dia masih memperhatikan. "Ketua BEM kampus yang katanya jadi panutan banyak mahasiswa, ternyata nggak lebih dari seorang bajingan rendahan."

Napas Kak Enggar memburu. Dadanya naik turun menahan emosi. Jika skala kemarahan setiap manusia batasnya di level sepuluh, kupikir dia sudah sampai di sembilan koma tujuh.

"Pelacur!!!!" Sentak Kak Enggar yang serta merta langsung mencekikku. Aku lalu melotot. Dia begitu kuat membelit bagian itu sampai wajahku mungkin berubah menjadi pucat.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku berusaha mendorongnya. Berusaha melepaskan diri dari jeratan tangannya yang lain. Berusaha menendang-nendang sofa agar tercipta suara-suara gaduh. Tapi aku hanya bisa menatapnya tanpa berkedip. Karena mendadak kelopak mataku terasa berat sekali.

Aku mulai merasakan keram di sekujur kepala. Juga pandangan yang mulai menghitam. Di dalam hatiku, aku masih berseru atas nama Fero. Aku benar-benar ingin dia di sini, setidaknya sebelum aku mati.

Tiba-tiba, aku mendengar suara bantingan yang cukup kuat menghantam sesuatu di atasku. Tapi aku tidak bisa melihat dan mendengar jelas apa itu. Energiku rasanya terfokus dengan bagaimana aku bisa bertahan hidup.

Bantingan itu menciptakan hujan kaca tepat di atas tubuhku yang terbuka. Aku merasakan perih di sekujur tubuhku yang terkenai beling tajam. Tanganku pun menyingkirkan benda-benda itu. Hingga aku baru sadar suatu hal...

Kedua tanganku sudah terlepas.

Aku juga merasakan rasa ringan di atas tubuhku. Tak ada lagi beban berat yang tadinya menimpa di sana. Benda itu seolah hilang. Sekarang aku sudah bisa menggerakkan kakiku tanpa ada lagi yang menahan.

PreferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang