Yoongi tiada henti berjalan bolak-balik di depan sebuah pintu bertuliskan ‘UGD’. Hatinya was-was terhadap sosok yang sedang berada di dalam sana. Sudah hampir satu setengah jam dia menunggu, tapi seorang pria berjas putih tak kunjung keluar dan memberi kabar. Hal itu makin menggelisahkan hati dan pikirannya.
Ia tidak tahu kenapa rasa khawatir ini hinggap di hatinya. Terakhir kali, ia merasakan ini kala Jungkook menghilang dulu. Dan rasa kekhawatirannya itu tak pernah mendapat jawaban yang mengenakan hati. Dan dia takut jawaban yang tak enak itu terjadi pada Woo.
ceklek
penantian Yoongi akhirnya tiba. Di depannya kini keluarlah seorang dokter setengah tua dari arah dalam UGD. Tanpa menghabiskan detik-detik berharganya, Yoongi lantas berlari sedikit ke dokter itu dan memberikan raut pertanyaan.
“Are you his family?” Baru ingin Yoongi bertanya, tapi dokter itu malah lebih dulu melayangkan pertanyaan untuknya.
“Ah... i am... i am...,” Yoongi jadi bingung. Apa yang harus dikatakan olehnya tentang status dirinya. Dia bukanlah siapa-siapa untuk Woo.
“Excuse me, are you patient’s family?” Dokter itu kembali bertanya.
Yoongi gugup sesaat sebelum bersahut. “Ye-yes. He is my brother.” Oh my god. Kenapa dia harus berbohong? dia bukanlah kakak kandung Woo. Dia hanyalah sahabat untuk Woo.
“How about his condition?” Yoongi mengalihkan pembicaraan mereka yang semula canggung.
“He has got hypertemia, but don’t worry because i have give him the medicine . And his scar has been healed.” Dokter tua itu menepuk bahu Yoongi lalu melenggangkan kaki.
Yoongi kemudian melangkah masuk dan mendekati Woo yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang pesakitan. Dia ditemani oleh canula nasal di hidung, lalu selimut yang amat sangat tebal. Tak lupa mesin penghangat yang diletakkan rapi di meja di sampingnya.
Yoongi menatap Woo dengan perasaan yang nanar. Wajah yang biasa terlihat meneduhkan itu kini memucat. Bahkan, luka-luka kekerasan kembali muncul di wajahnya dan itu menyakitkan hati Yoongi. Dia menjadi kecewa pada Sehun karena dia melanggar janjinya untuk menjaga Woo dengan baik.
Wajah Woo yang pucat itu memancing Yoongi untuk menangkupnya lembut. Lantas ia gerakan tangannya untuk menggapai wajah itu, namun sedetik kemudian ia tarik tangannya. Ia mendelik setelah sadar apa yang dia lakukan. Kenapa dia bisa melakukan hal sejauh ini? Woo bukanlah siapa-siapa. Dia bukan adiknya.
“Eugh,” lenguhan serak dari Woo memecahkan lamunan Yoongi. Yoongi yang sadar dari ketermenungannya buru-buru keluar dari ruang UGD, dan beberapa detik kemudian ia tiba lagi dengan dokter di sampingnya.
Dokter itu lantas menyorotkan cahaya senter ke mata Woo. Dan bagusnya pupil mata anak itu meresponsnya. Ia kemudian beralih menyentuh pergelangan tangannya, dan kecepatan nadi dia mulai bergerak normal.
Meskipun demikian, kanula nasal yang terpasang di hidungnya belum boleh dilepas, mengingat perjalanan napas dia yang belum stabil. Hipotemia yang menyerangnya menyebabkan jantungnya bekerja lambat. Dan itulah sebabnya nacula yang ia gunakan saat ini sangat membantu hidupnya.
“Godness. He has been fine. And you don’t have to be worry him.” Dokter itu memberikan senyum hangat, dan itu melegakan benak Yoongi.
“Thank you.” Yoongi menjabat tangan sang dokter sebagai bentuk terima kasih. Dokter itu membalasnya dan setelah beberapa detik dia pergi dan menangani pasien lain.
“Apa kau baik-baik saja?” Yoongi mendekat ke arah Woo, dan memberikan tatapan yang cemas.
Woo tidak merespon pertanyaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bogoshipda
FanfictionKesengsaraan, penderitaan, dan kehilangan. Ketiga kata itu datang secara tidak terprediksi. Tak terkecuali untuk Yoongi. Bagi dia, ketiga kata itu melebur dalam sebuah ikatan bernama 'takdir.' Dia terluka atas takdir yang tertoreh di buku langit. D...