Jungkook meremat jemarinya gusar. Bibirnya ingin berkata pada sosok kakaknya yang tengah sibuk, tapi ia urungkan. Ada yang tengah menjanggal hatinya, hingga memanggil kakaknya terasa sulit.
Yoongi pun juga tampak tidak mengindahkan keberadaan Jungkook, tidak seperti biasanya. Tumpukan-tumpukan kertas di atas mejanya, membuat seluruh konsentrasinya jatuh pada semua tumpukan kertas itu.
"Hyung," cicit Jungkook. Dia menekan kuku jarinya takut, sebelum berkata lagi, "Bisakah kau menemaniku ke suatu tempat?" Jungkook merendahkan suaranya.
"Kau tidak lihat aku sedang apa?" Yoongi menyahutnya dengan jutek. Mata yang selalu hangat menatap Jungkook, kini tidak lagi. Dia bahkan tak menatap wajah sang adik yang mengendur karena ucapan ketusnya.
"Kau sudah besar, Jungkook. Aku tidak mungkin bisa kapan saja menemanimu."
Ucapan Yoongi yang sarkatis, membuat nyali Jungkook semakin menciut. Dia membuang napasnya yang berat dan mengerucutkan bibir.
"Baiklah. Padahal, aku ingin ke makam ayah, karena aku ingin merayakan ulang tahunnya." Penuturan Jungkook yang terdengar kecewa, menghentikan Yoongi yang tengah menulis. Dia bergeming, lalu setelahnya dia merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia melupakan hari jadi orang terkasihnya.
"Selama delapan tahun, aku tidak pernah berkunjung apalagi merayakan ulang tahunnya. Aku takut ayah akan kecewa padaku." Jungkook berlirih. Yoongi sekali lagi merasakan gejolak penyesalan. Ia lantas menarik napas cukup panjang, lalu meletakkan semua berkas yang ada di tangannya.
"Aku ingin menyapanya, memberinya kado dan menyanyikan lagu 'selamat ulang tahun'. Tapi aku sulit melakukan semua itu." Mata Jungkook mulai berair. Bibir mungilnya ia gigit sebagai sarananya untuk menahan tangisan.
"Aku terlalu lama tidak menemuinya hingga sulit bagiku menyapanya sekarang. Terlebih lagi, aku sempat melupakannya. Dan ini makin memberatkanku untuk bertemu dengannya," Jungkook terisak. Dia menghapus air matanya yang nakal mencelos dari pelupuk.
Lagi dan lagi, Yoongi hanya mengembuskan napas. Ia raih wajah sang adik, lalu mengusap air mata yang tertinggal di sana.
"Tidak ada anak yang melupakan ayahnya sendiri. Kau dulu sedang menjauh bukan melupakan. Karena sampai kapanpun, ayah akan selalu tersimpan di hati kita." Yoongi mengulas senyum tipis. Ia kembali membersihkan air mata sang adik yang terjatuh kedua kalinya.
"Jadi, jangan pernah berpikir kau melupakannya, mengerti?" Jungkook mangut-mangut ringan. Dia bergegas membersihkan wajahnya dari air mata.
"Hmm, bagaimana kalau kita membuat cheesecake? ayah pasti akan menyukainya."
Kepala Jungkook sekali lagi mengangguk. Wajah sendunya perlahan bersinar, kemudian segaris senyum manis terbit di bibirnya.
*****
"Apa kau baik-baik saja?" Suho menatap cemas Sehun yang pucat.
Sehun yang tidak ingin merepotkan orang lain, menggeleng. "Jangan cemas! Aku baik-baik saja." Bibir Sehun yang memutih tersenyum kecil. Dia meraih mantel yang disangkut di stand hanger lalu hendak keluar.
"Kau yakin tidak apa-apa?" Suho bertanya meyakinkan setelah dia menahan lengan Sehun. "Wajahmu pucat, dan di luar sedang bersalju. Itu akan memperburuk kondisimu." Suho menarik Sehun ke ruang tengah yang kecil, namun Sehun menolak. Dia melepas genggaman Suho secara pelan dan berkata.
"Aku sungguh tidak apa-apa. Percayalah padaku!"
Ada perasaan tidak ikhlas kala Sehun sudah tiba di ambang pintu. Ia tahu, bahwa Sehun berbohong. Sejak pagi tadi saat dia tertidur, Sehun terus bergumam tidak jelas. Dia memanggil-manggil nama seseorang yang jelas berada jauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bogoshipda
FanfictionKesengsaraan, penderitaan, dan kehilangan. Ketiga kata itu datang secara tidak terprediksi. Tak terkecuali untuk Yoongi. Bagi dia, ketiga kata itu melebur dalam sebuah ikatan bernama 'takdir.' Dia terluka atas takdir yang tertoreh di buku langit. D...