[Extra Chapter 2]
My Hottest (not yet) CEO
Mataku membuka lebar tepat setelah pintu lift gedung perusahaanku terbuka. Aku langsung mengucek mataku setelah melihat pemandangan calon tempat kerja baruku ini.
Suasananya sejuk karena pendingin, tempat bekerja pribadi yang cukup rapi, dan meja berisi cemilan dan makanan di ujung ruangan.
Terlihat seperti kantor ideal.
Aku terus menatap ruangan tersebut sementara jemariku terus menyisir rambut yang baru saja dicat warna coklat, menatap tidak percaya bahwa aku akan segera bekerja di kantor keren ini.
"Keluar." perintah seseorang tegas di sampingku, "Anda mau berdiam diri terus di dalam lift ini?" tanyanya lagi.
Ah, aku terlalu takjub.
Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari lift tanpa berani menatap orang tadi, lalu dengan cepat aku mendekati sebuah ruangan yang terlihat besar yang kukenali sebagai ruangan bosku atau pun CEO perusahaan ini.
Ya, sebagai seorang anak baru, tentu aku harus memperkenalkan diri pada CEO perusahaan ini.
Dengan gugup, tangan kananku mengetuk keras pintu kayu berwarna cokelat ini. Namun tidak ada yang membalas ketukanku.
Tok! Tok!
"Masuk!"
Aku menghela napas mendengar panggilan itu, lalu dengan cepat aku memasuki ruangan bernuansa minimalis itu.
Seorang lelaki muda dengan jas formal duduk di balik meja, sambil memainkan kalkulator di atas mejanya. Tampangnya muda, namun ia tampak sangat berwibawa dan keren, dan tampan.
"Permisi, Pak. Saya designer fashion baru, saya baru mulai bekerja hari ini," ucapku—berusaha agar terlihat sopan.
"Oh, karyawan baru? Duduk." ucapnya tegas tanpa melirik sedikit pun ke arahku.
Astaga, akankah dia menjadi CEO muda, tampan, dan kaya milikku seperti di novel-novel?
"Kapan kamu mengikuti wawancara?" tanyanya sambil membuka sebuah laci dan mencari selembar kertas di antara kumpulan kertas.
"Tepat seminggu yang lalu, Pak."
"Jangan panggil Pak, saya masih muda tahu," ucapnya dengan gaya bicara yang menghangat.
"Oke, maaf,"
"Kamu, Raisa ya?" tanyanya sambil mengeluarkan selembar kertas yang berisi data diriku ke atas meja.
"Iya."
Bosku itu langsung mendongakkan wajahnya, sementara matanya menyipit dan menatap lurus ke wajahku.
DEG!
Jantungku terasa akan segera meledak melihat wajahnya. Memang, wajahnya tampan bak model-model di televisi. Namun, karena—
"Lo Zevano anak SMA Garuda itu, kan?!" jeritku tak tertahankan.
"Raisa, jadi ini beneran Raisa sahabatnya mantan gue yang ngelamar di sini?"
Aku mengganguk sambil menelan ludahku susah payah. Jika hitunganku benar, seharusnya kami—yang seangkatan baru saja lulus kuliah atau pun wisuda tiga bulan lalu. Tapi mengapa ia sudah begitu sukses—menjadi seorang CEO?
"Lo jadi pemilik perusahaan ini?" tanyaku dengan suara melemah. Entah mengapa aku menjadi merasa sangat pasrah.
"I—"
"Zevano! Lagi-lagi kau duduk di meja Papa, kan? Papa selalu nasehati kamu untuk tidak menggoda pegawai baru, kamu tidak pernah mendengarkan, ya?" seru seorang bapak-bapak berusia lima puluh tahun sambil membuka pintu kantor.
Zevano di hadapanku ini langsung nyengir kuda dan pergi dari meja ayahnya, "Maaf Pa," ucapnya pendek.
"Kerja yang benar," omel bapak itu sambil duduk di kursinya, "Maaf soal anak saya. Kamu pegawai baru? Yang untuk divisi designer baju wanita?" tanyanya.
Aku mengenali bapak ini. Dia adalah orang yang mewawancaraiku kemarin, Pak Ongky.
"Iya, Pak."
"Baik. Ini lah kartu identitas kau. Simpan baik-baik, kalau hilang, kau kena pecat," ucap Pak Ongky sambil menyerahkan sebuah amplop.
"Terima kasih, Pak."
"Zevano, kau antarlah dia menuju tempat kerjanya. Jangan kau malas-malas aja," perintah Pak Ongky kepada anaknya.
Zevano menatap ayahnya cemberut, kemudian mengajak ku keluar ruangan.
"Jadi, ruangannya punya papa lo? Bukan punya lo?" tanyaku dengan nada mengejek.
"Iya. Kan gue pengen jadi kaya hottest CEO kaya di novel. Biar cewek-cewek pada suka," gurau Zevano santai.
"Lo, mau disukain cewek? Cuma cewek buta yang mau sama lo, kayak si Carly." ucapku sambil memasuki lift.
"Bodo."
"Untung sekarang dia udah gak buta. Makanya dia putus sama lo," seruku pedas.
Aku keluar dari lift berdampingan dengan Zevano, dan aku kaget ketika para perempuan menyalami Zevano dengan girangnya.
"Gue emang bukan bos di sini. Gue masih karyawan biasa. Tapi, gue penerus perusahaan ini," bisiknya sambil tersenyum simpul, dan berhenti tepat di depan mejaku.
"Gue agak ragu sama masa depan ini perusahaan kalau lo yang pimpin. Tapi, gue menghargai keputusan Pak Ongky karena beliau adalah orang yang baik," ujarku sambil menyalakan komputer kantor punyaku.
"Jangan panggil Pak Ongky," ujar Zevano sambil tersenyum. Perlahan, ia duduk di meja milikku, "Panggil papa mertua aja." senyumnya.
"Mengerikan." ujarku pelan.
Aku terdiam sembari memulai pekerjaanku. Namun, lelaki satu ini terus berdiri di samping meja ku, tanpa ada niat untuk pergi.
"Sekarang, lo ngapain lagi?" tanyaku bingung.
"Nanti siang, kita makan bareng ya di kantin karyawan," ajaknya.
Aku menatapnya tak percaya, namun aku hanya bisa mengganguk patuh. Kemudian, ia tersenyum miring, dan mendekatkan bibirnya ke samping telingaku, "Congratulations, Raisa. Lo akan menjadi bahan gosip terbaru di kantor." bisiknya.
Aku menatapnya tidak percaya. Lalu dengan angkuhnya, ia berjalan menjauh dari mejaku. dan benar saja, para wanita di kantor, ada yang menatapku sinis sambil berbisik, dan ada yang tampak ingin berteman denganku. kayaknya, bekerja di kantor ini, bakalan seru.
MY HOTTEST (not yet) CEO
* * *
Terima kasih sudah membaca:)
Vote dan comment!
Jangan lupa baca sequelnya ya:
'Nach Sieben Jahren'See you in the next episode!
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet
Teen FictionSequel: NACH SIEBEN JAHREN [ON GOING] #275 TEEN FICTION [25/12/17] Part lengkap semua, follow dulu baru baca. Jangan lupa vote atau komen. * * * Angela Kaistal, gadis yang menghabiskan kelas sepuluhnya menont...