10. Kasihku

1.3K 108 0
                                    

Cennaya's Pov

"Aku pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik, besok aku akan kembali. Selain itu rumahmu jauh dari pemukiman. Teriaklah dengan memanggil namaku bila terjadi sesuatu dan kau membutuhkan seseorang. Aku akan datang."

"Bagaimana kau bisa mendengar jeritanku bila aku berteriak? Kita sangat jauh, Cenna. Bahkan ada hutan luas yang memisahkan kita."

Dia benar. Sebenarnya itu bukanlah hal yang mustahil bagiku. Namun, itu pasti sangat mustahil baginya. Dia manusia murni, Cenna. Jangan lupakan itu. Astaga, kenapa mateku harus manusia murni? Manusia murni yang manis.

"Siapa tahu, barangkali aku sedang disekitar sini. Aku beberapa kali pulang pergi kepasar untuk membeli atau menjual sesuatu. Jadi, kumohon panggilah namaku jika kau membutuhkan pertolongan." Pintaku sungguh-sungguh.

"Baiklah, Cenna. Ya sudah, sebelum hari semakin gelap kurasa kau harus segera pulang. Dan, o'ya.. Apa kau membutuhkan alat penerangan? Aku akan meminjamkanmu alat penerangan atau lentera bila kau khawatir belum tiba dirumahmu ketika hari sudah malam."

"Tidak Rika, aku akan baik-baik saja dan tidak menabrak apapun."

"Kau yakin? Ini sudah senja." Ucapnya ragu dan sedikit cemas. Astaga, aku memang harus berpura-pura bila dihadapannya. Kepura-puraan yang tidak kusukai harus kulakukan demi orang yang kucintai. Astaga, moon goddess kuatkanlah aku.

"Baiklah, pinjamkanlah padaku." ucapku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Tunggu disini sebentar. Aku akan mengambilnya." Ucapnya semangat sambil berlari kedalam rumahnya. Astaga, bertemu mateku membuat keterikatanku dengan kepura-puraan semakin bertambah sekaligus membuatku ada dalam posisi yang berbahaya.

Bila para kelompok pack tahu pasti mereka akan menganggapku telah melampaui batas dan terlalu bebas. Cih, terlalu bebas apanya? Aku justru harus menahan banyak hal sejak bertemu dengannya. Aarkhh, aku tidak menyangka aku akan melakukan semua hal ini hanya untuk melihat senyumnya, mendengar suaranya, bersamanya, dan terus dengannya.

Tapi, bila kupikir-pikir lagi. Sepertinya aku rela dipenjara asalkan aku bisa bersamanya. Sial! aku tersenyum & geli oleh pemikiranku sendiri. Tidak biasanya aku berpikir seperti ini.

"Cenna, bawalah ini. Maaf sedikit lama. Aku lupa dimana terakhir kali meletakkan barang ini." Ucapnya dengan nafas yang tidak teratur. Ia memberikanku sebuah lentera antik yang sudah menyala dan akupun mengambilnya.

"Tidak masalah. Aku pulang dulu." ucapku sambil tersenyum.

"Baiklah." ucapnya. Akupun membalikkan badanku untuk pergi hingga aku teringat akan suatu hal dan membalikkan tubuhku lagi.

"Rika?"

"Iya?"

"Tersenyumlah."

"Apa?"

"Kumohon."

"Apa maksudmu? Kau aneh!" ucapnya sambil tersenyum geli mendengar permintaanku.

"Bagus. Baiklah. Aku pulang dulu." Ucapku sambil tersenyum kemudian berlari meninggalkannya. Melihat senyumnya memang selalu bisa menaikkan suasana hatiku. Aku tidak peduli bila ia menganggapku aneh atau apapun. Intinya, aku melakukan hal yang kubutuhkan. Mendapatkan senyumannya.

Dalam perjalanan pulang aku memerhatikan lentera ini. Sejak bertemu dengannya, hidupku terasa lebih bercahaya, meski aku harus berpura-pura di hadapannya. Lentera kecil ini seakan menjadi pengingat akan  dirinya. Cahaya yang terus menyinari langkahku di tengah gelapnya kenyataan yang kututupi darinya. Meskipun kecil dan antik, lentera ini memberikan harapan, sama seperti dirinya, manusia murni yang tanpa sadar membuat hidupku lebih berarti.

Aku tersenyum pada lentera itu. Ia bilang kami sangat jauh. Namun, menyadari bahwa tak peduli seberapa jauh kami terpisah, kehangatan lentera ini akan selalu mengingatkanku padanya. Rika. Satu-satunya yang membuatku ingin berhenti berpura-pura, meski hanya sesaat.
...

Malam ini aku tidak akan bermalam dirumah beta. Malam ini juga aku ingin membuat rumah pohon untuknya. Aku pergi kerumah beta dan menyadari bahwa beta belum pulang. Mungkin ia sedang bersama dengan alpha Iykos saat ini. Akupun mengambil alat pemotong kayu untuk mendapatkan kayu-kayu yang kubutuhkan.

Setelah mendapatkan bahan-bahan yang cukup aku pergi kerumah kembali untuk mengambil alat-alat perkakas tertentu yang kumiliki dirumah beta Impisi. Tanpa kusangka beta Impisi sudah pulang. Dan, syukurlah ia tertidur lebih awal malam ini sehingga dia tidak perlu melihatku yang membawa alat-alat perkakas yang sudah lama tidak kupakai ini.

Jika klanku tahu apa yang akan kulakukan malam ini, aku pasti akan dijauhi, bahkan mungkin diasingkan. Tapi semua itu tak ada artinya dibandingkan senyuman Rika. Sebuah kebahagiaan kecil yang kucari meski penuh risiko.

Akupun membawa semua alat-alat itu kepohon kesukaanku. Dan ketika semua bahan-bahan dan alat-alat yang kubutuhkan itu sudah terkumpul akupun mulai membuat rumah pohon. Aku jadi penasaran tentang pendapat Rika bila ia sudah melihat rumah pohon yang sedang kubuat ini. Semoga dia senang dan aku bisa mendapatkan hatinya.

Rumah kedua? Aku ingat apa yang dia katakan tadi. Bila ia menjadikan rumah keduaku ini sebagai rumah keduanya juga maka secara tidak langsung rumah pohon ini akan menjadi rumah kami. Rumah milik kami! Astaga, aku semakin bersemangat mengingat aku sedang membangun rumah kami. Baiklah, Aku akan membangun rumah pohon sebagus mungkin yang bisa kubuat agar dia nyaman untuk sering berada dirumah kami.

Setiap paku yang kutancapkan, setiap kayu yang kutata, rasanya seperti menenun mimpi kami bersama. Seolah setiap langkah kecil ini akan membawaku lebih dekat kepadanya, mengukir cinta di tiap sudut rumah yang kubangun dengan tanganku sendiri.

Rika, maafkan aku yang tidak bisa melolong malam ini. Aku sedang sibuk membangun rumah kita. Semoga kau tidur nyenyak malam ini, kasihku. Pikirku sambil tersenyum.

***

Petualangan Sang Omega (Belum Di Revisi). Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang