Bagian 4 | Friendship ✓

243 51 22
                                        

Sorry for typo
~ Happy reading ~

"Karena pada dasarnya ikatan yang terjalin layaknya saudara adalah sebuah persahabatan."
•ווו

Hangat dari pemanasan ruangan membuat cuaca dingin—karena hujan baru saja mengguyur kota metropolitan—menjadi hangat. Naya yang sedang berada di rumah Widia yang luas dan minimalis ini, semakin merasa malas untuk beraktivitas. Mereka sepertinya terlena untuk tetap berada di atas kasur daripada harus berbasah-basah dengan rinai hujan yang sedang mengguyur bumi.

Rumah Widia memang terkesan luas, namun hal itu tetap membuat Widia merasa hampa. Selain karena orang tuanya yang sibuk bekerja, Widia juga merupakan anak tunggal mereka satu-satunya. Tak heran jika Naya sering kali menginap di rumahnya dan akrab dengan orang tua Widia, sehingga mereka sering disebut sebagai saudara. Widia menoleh ke samping, melihat Naya yang sedang memejamkan matanya. Widia tahu jika Naya belum tidur, karena jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam. Terlalu awal untuk Naya yang hendak tidur.

"Nay, lo masih terjaga, kan?" Naya hanya bergumam tak jelas, tanpa minat membuka matanya. "Masih terpikir hal yang Shana lakuin tadi?" tanyanya lagi.

Mata Naya mulai mengerjap. Dia melirik sebentar pada Widia dan mengulas senyum tipis. Pandangannya lurus, menatap langit-langit kamar Widia. "Ya ... seperti yang kamu lihat. Shana emang terlihat sensi banget, gak tahu kenapa," terang Naya.

Widia jadi tidak enak hati, jika harus membahas tentang kelakuan Shana pada Naya minggu lalu. "Kalau tentang Akio gimana, Nay?" goda Widia sambil mengerlingkan matanya. Sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

Naya merenggut kesal. Dia melemparkan sebuah bantal pada Widia, perempuan itu dengan gesit menghindarinya. "Kok jadi bawa-bawa dia sih!" protes Naya sambil mengerucutkan bibirnya.

"Habisnya, dia keliatan suka banget sama lo, tahu." papar Widia.

Naya mencebikan. "Suka dari mana ya? Orang player gitu, ih! Jijik tahu," ucap Naya sambil bergidik ngeri saat bayangan pemuda bernama Akio itu muncul di dalam benaknya.

Memang kerap kali Akio sering melemparkan candaan yang bersifat perasaan pada Naya, tapi Naya tidak buta. Orang seperti Akio itu, cuma bisa memainkan perasaan wanita saja. Omongannya juga selalu Naya artikan sebagai gurauan belaka.

"Eh, jangan bilang gitu, nanti beneran suka lho," cerca Widia.

"Ih, amit-amit ya!"

Lalu mereka sama-sama tertawa memikirkan nasib Naya yang mungkin saja akan menjadi target kesekian dari Akio.

"Wid, maaf ya, kalo orang tua kamu ... sekarang gimana?" ujar Naya mengalihkan topik pembicaraan.

Widia mendesah berat. "Gitu deh," jawabnya sekenanya.

Karena tidak mendapatkan jawaban yang puas, Naya berdecak. Tapi dia tidak ingin semakin membuat Widia merasa tidak nyaman karena topik pembicaraan mereka tentang orang tua, menjadi pantangan tersendiri bagi seorang Darlene Widia.

"Daripada kita males-males di sini, gimana kalo kita buat bolu?" ajak Naya.

Widia menggeleng, mood nya sedang kurang bagus untuk melakukan suatu pekerjaan. Dia hanya ingin bermalas-malasan. "Gak, ah. Gue lagi unmood."

Twin's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang