Chapter 36
OURS
***“Kenapa, Al?” Aku yang sedari tadi duduk di sofa deket jendela kamarnya menoleh padanya, menggeleng pelan sembari tersenyum kepadanya. “Lo mikir apaan?”
“Mikir apaan?” aku mengulang kata-katanya.
“Kenapa lo diem aja?”
“Gua? Engga, kok. Gua cuman duduk aja di sini. Kenapa?” aku balik bertanya dan membuatnya menghela napas keras. “Apa?”
“Tanggal berapa sekarang?”
“23.”
“23 apa?” tanyanya lagi.
Aku memutar bola mataku sebelum menjawabnya, “23 April.” jawabku.
“Bukannya ada pasar malam? Cuman seminggu, kan?” ucapnya dan aku menatapnya, bukan heran tapi, entahlah harus bilang apa. “Lo mikir itu, kan?” tuduhnya dan aku menggeleng keras padanya. “Ayo ke sana!”
“Engga mungkin, Den.” jawabku dan duduk bersila di atas sofa. “Lo baru aja kena masa kritis, engga bakalan ada yang ngasih ijin lo ke sana.” lanjutku.
“Lo kok pesimis, Al?”
“Gua...”
“Gua yang bakal yang minta.” sambarnya.
Aku hanya mengangkat bahuku tak peduli, “Terserah lo, sih. Lo kan keras kepala.” jawabku dan mengambil ranselku, “Gua ke kantin dulu.” pamitku dan menutup pintu kamar inapnya.
Entah kenapa, aku merasa bosan dengan kekeras kepalanya. Tidak, bukannya aku bosan dalam mencintainya, tidak sama sekali. Aku hanya tidak ingin dia kembali sakit parah seperti beberapa hari yang lalu. Aku tidak ingin dia ingkar akan janjinya.
“Al.” Aku menoleh dan melihat Bang Eno yang berjalan mendekatiku, aku mencoba memaksakan senyumku dan menyapanya. “Lo oke?”
Aku menganggukkan pelan, “Iya.” jawabku singkat. “Ngantin yuk, bang. Gua pengen ngopi.” ajakku dan kami berjalan beriringan.
“Lo pulang aja hari ini, wajah lo udah kayak zombie, dek.” suruh Bang Eno dan menarik kursi ke belakang, mendudukinya untuk menunggu pesanan kami berdua.
“Engga, bang. Aden pasti nyariin gua.”
“Gua ngerti lo peduli sama dia, tapi lo juga harus inget diri lo. Lo bukan robot dek yang bisa stay di deket Aden, lo punya limit. Semua orang punya limit. Gua mohon sebagai abang lo, hormati gua sebagai abang lo, pulang sebentar buat istirahat tenang.” ujar Bang Eno panjang lebar.
“Permisi.” pelayan kantin datang dengan nampan yang berisi dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap panasnya.
“Makasih, mbak.” ucap Bang Eno.
“Silakan dinikmati.” ucap pelayan itu sebelum pergi.
“Al...”
“Gua mohon, lo ngertiin gua, bang. Tiap detik ini berharga buat gua, lo tau...” aku mencoba mengambil napas dalam-dalam untuk mengenyakkan ingatan beberapa minggu lalu, di mana Aden hampir saja ninggalin aku, hampir saja. “dia... bang plis...” aku menyerah, aku kalah.
“Gua ngerti. Kita selalu ngerti. Tapi...”
“Bang, plis.” mohonku untuk tidak membahas masalah ini lagi, aku tidak ingin. Aku pergi ke sini untuk menenangkan pikiranku yang kusut dan rasanya ingin meledak hancur sehancurnya.
“O-oke.” kulihat Bang Eno terpaksa mensetujuinnya. Kami menikmati kopi pesanan dalam diam, tak ada perbincangan lagi diantara kami berdua. Apapun yang akan kami bincangkan, ujungnya adalah kembali ke masalah tersensitif saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Stay [FINISHED]
Teen FictionBagi Al, Aden adalah galaksinya yang begitu luas untuk dia arungi Bagi Al, Aden itu udara yang selalu dia butuhkan setiap hari Bagi Al, Aden itu narkotika yang selalu membuatnya kecanduan Al suka Aden yang sama-sama menyukai bintang Polaris Ini adal...