Chapter 22 : Damn!

464 30 5
                                    

Chapter 22
Damn! 
***

Duduk di ruang tunggu untuk menjenguk para tahanan di lapas pertama kali seperti aku ini bikin takut, bukannya mikir macem-macem kayak dibunuh tahanan yang jahat, tapi takut pada sipirnya yang liatin aku kayak mau nelen aku idup-idup. Enggak ada ramah-ramahnya, flat kayak papan nama salonnya Mbak Selly.

"Lo?" aku langsung menoleh pada si empunya suara, Shella. "Ngapain lo di sini?" dia masih saja angkuh dengan baju tahanannya yang lusuh.

"Duduk dulu, Mbak." di sini aku yang waras, jadi sebisa mungkin aku enggak bikin keributan dengan mengulang adegan menjambak-jambak di sekolah beberapa minggu yang lalu.

"Ngapain lo di sini? Mau ngejek gua?"

"Enggak. Gua enggak ada niatan kayak gitu buat nemuin lo."

"Terus?" Shella menjatuhkan punggungnya ke belakang kursi plastik lapas. "Lo mau nyumpahin gua? Harusnya gua nabrak lo sampe mampus."

"Lo!" aku mendorong dada Bang Eno untuk menjauh dari meja kami. Aku tahu, apa yang dikatakan Shella menyulut kemarahan Bang Eno semakin besar. "Licik."

"Bang," pintaku yang semakin mendorongnya untuk menjauh. "Plis, lo udah janji sama gua."

Kami berdua menatap Shella bingung, gadis itu tertawa seperti telah mendapat lelucon komedi. "Menggelikan,"

"Shell," aku mendorong Bang Eno menjauh dari Shella setelah mendengar geramannya. Dia benar-benar marah.

"Plis,"

Aku bernapas lega saat Bang Eno menyampingkan egonya dan menjauh dari meja kami. Aku kembali duduk di kursi dan Shella masih tertawa dengan lelucon yang dianggapnya lucu.

"Munafik lo." makinya, dan detik berikutnya menangis pilu.

"Kenapa lo lakuin itu?"

"Kenapa?" Shella kembali tertawa, kemudian menatapku tajam. "Lo ngerampas apa yang gua punya."

"Apa?"

"Adjie gua. Lo rampas dia dari gua. Dasar berengsek!" teriaknya yang sudah melompat ke atas meja, dua sipir menghadang Shella yang akan mencekiku. "Gua benci lo. Mati saja lo waktu itu."

Bang Eno sudah memasang badan di depanku. Shella sudah tidak terkendali lagi.

"Bawa dia pergi." satu kata mutlak yang penuh amarah dari Bang Eno. Dia marah atas semua yang dilakukan Shella hingga saat ini.

"Mbak Shell, gua maafin lo tapi hukum akan berjalan. Gua harap lo mulai maafin diri lo sendiri, Mbak Shell." ucapku yang dibalas tawanya yang membahana di penjuru ruangan. Beberapa orang menatap kegaduhan kami dengan rasa penasarannya.

"Ayo!" Bang Eno sudah menarikku keluar dan tak ingin mendengar sumpah serapah penuh makin dari mulut Shella.

"Mbak Almira?" aku mengangguk saat pria tambun berdiri di depan kami. "Perkenalkan, saya Dodik, pengacara keluarga dari Nona Shella."

"Reno." Bang Eno yang menerima jabatan tangan Pak Dodik. "Saya kakaknya Almira."

"Bisa kita bicara?" Bang Eno mengangguk setuju dan mengikuti langkah kaki Pak Dodik.

"Silakan duduk." Pak Dodik menarik kursi yang berada di warung sederhana dekat lapas.

"Terimakasih." ucap Bang Eno saat tiga es teh datang.

"Ada apa, Pak?" tanyaku tak sabar.

"Pertama, keluarga dari Nona Shella meminta maaf sedalam-dalamnya atas apa yang dilakukan oleh Nona Shella." Pak Dodik memulainya.

Please Stay [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang