Chapter 10 : Gua yang sakit

572 31 1
                                    

Chapter 10
Gua yang sakit
***

Mataku terasa berat untuk dibuka dan pula, badanku rasanya sakit sekaligus terasa pegal-pegal. Kenapa sih? Perasaan aku tidak ada jadwal tanding.

"Adek -" suara Mama manggil-manggil. Ada apa sih? Ini kenapa juga mata susah banget dibuka.
"Adek -" panggil mama lagi dan kali ini aku merasakan usapan lembut pada lengan kananku.

"Engghh..." erangku dan berusaha bertanding dengan mataku yang tak mau terbuka juga.

"Adek udah sadar?" aku merasakan usapan lembut di kepalaku.

"Ma..." mataku mengerjap pelan dan melihat Mama yang setengah membungkukkan badannya ke arahku.

"Alhamdulillah. Ada yang sakit?" tanya Mama sumringah. Keningku berkerut bingung dan detik berikutnya, aku mengangguk pelan. "Yang mana, sayang?" tanyanya

"Badan, Al. Pegel." ucapku lirih dan Mama memijat lenganku pelan.

"Gak pa-pa. Nanti kalo udah enakan, Mama panggilin emak Sun." ucap Mama.

"Mama... Kaki Al nyeri. Sakit." rengekku manja dan Mama hanya menganggukkkan kepala sebelum dia mengambil tasnya. "Kemana, Ma? Ala baru bangun."

"Pulang dulu. Aden entar ke sini. Bentar lagi." ucap Mama setelah melihat jam dinding.

"Lama pasti. Hape Al, Ma?"

"Dibawa bang Eno ke outlet hape kamu itu." jawab Mama yang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya.

"Rusak?"

"Iya. Tapi, kata abangmu masih bisa dibenerin, kok." jawab Mama.

"Awas aja kalo datanya ilang." gumamku.

"Loh? Kok gitu ngomongnya?" ucap Mama dan menonyor kepalaku. "Masih untung dibenerin abang kamu itu."

"Adek malah berharap dibeliin yang baru." ucapku.

"Adek punya tabungan berapa emang? Nanti Mama tambahin."

"Beneran, Ma?"

"Iya." jawab Mama yang kelihatannya beneran dan gak bohong sih. "Tapi dua ratus aja." tambah Mama.

"Sama aja bohong, Ma." kesalku dan memejamkan mata, menyudahi adu debat yang aku yakini, akulah yang kalah.

"Mams pulang dulu. Abis sholat Ashar, Mama balik lagi sama abang." pamit Mama.

***

Aku patuh saat dokter dan dua suster yang bersamanya memeriksa segala macam yang menempel di tubuhku.

"Dok, sampe kapan kakiku dibuntel gitu?" tanyaku sambil menunjuk perban tebal pada kaki kiriku. Sumpah, perbannya udah ngalahin bunten pepes ikannya Buk Ijah, langganan Mama tiap pagi, tebel banget.

"Secepatnya." jawab dokter setengah baya itu, yang kulihat nametagnya bernama Dokter Budi.

"Secepatnya itu kapan, ya?

"Perkiraan saya, sebulan. Kamu, kan, di masa pertumbuhan, pasti cepet sembuhnya." jawabnya.

"Sebulan dibuntel gini?" tanyaku yang kembali menunjuk kakiku, horror meliht kaki sendiri yang harus diperban gini selama sebulan. Duduk terus, gak bisa lakuin apapun.

Please Stay [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang