Chapter 29 : Restart

439 27 0
                                    

Chapter 29
RESTART
***

“Al? Lo mikir apaan? Keliatan serius bener.” celetuk Aden yang duduk bersandar di brankanya. Aku menatapnya dan cuma bisa nyengir saja.

“Keren kan gua?” candaku dan dia cuman ketawa, “enggak ngelawak gua.”

“Iya.”

“Boong.”

“Kaga.” sambarnya dan aku mengangguk mengerti dan kembali menatap langit dari jendela kamar inap Aden. Menompang daguku dengan kedua tanganku yang terlipat di atas sandaran sofa. “Den.”

“Hm?”

“Bisa enggak ya, kita mulai lagi?”

“Mulai apaan?”

“Semuanya.” jawabku dan memutar kepalaku ke arahnya, “Kesalahpahaman itu. Keburukan gua. Gua mau mulai dari awal. Kayak kita dulu, enggak ada apa-apa.” ujarku.

“Al.” aku menatapnya dengan sebelah alisku terangkat, “Apa yang harus dimulai? Semuanya kayak dulu kok. Lo aja yang bikin jadi rumit.” kekehnya.

Aku mencebikkan bibirku kesal dan memilih mengalihkan pandanganku darinya, “Nyebelin.”

Restart.”

“Apanya?” tanyaku bingung.

“Semuanya.”

“Lo enggak jelas deh, Den. Pusing gua.” kesalku, aku bangkit dari sofa dan mengambil tas ranselku.

“Kemana?”

“Gua mau pulang sebentar. Ganti baju dan balik lagi ke sini. Gua nginep ke sini kok.” jawabku dan menutup pintu kamarnya. Aku melangkah menyusuri lorong rumah sakit.

“Dek.” aku menengadahkan kepalaku ke atas karena sedari tadi aku menundukkan kepala dan hanya menatap tali sepatu yang kukenakan. “Lo baik...”

Aku menggelengkan kepala cepat dan air mataku kembali menguar keluar, “Enggak. Lo tau gimana rasanya mesti bersikap ‘gak ada apa-apa’ padahal ...” Aku mencoba menghirup udara lebih banyak untuk asupan rongga paru-paruku yang tiba-tiba hilang. “Lo... kenapa...” aku memukul keras-keras dada Bang Eno yang berdiri di depanku. “Lo bikin gua kayak orang bego, bang.”

“Sori, dek. Gua enggak mau lo lemah kayak sekarang.” ucap Bang Eno dan memelukku erat-erat. Aku cuman bisa menangis sejadi-jadinya di dadanya.

Sungguh, aku bakalan milih loncat di tempat ketinggian dari pada harus nyembunyiin ini. Bagaimana rasanya bersikap ‘baik-baik saja’ padahal kamu sendiri tahu jika keadaannya tidak seperti itu.

“Sakit banget, bang.” rintihku dan mencengkram erat kerah baju seragamku sendiri.

“Abang ngerti.” sahut Bang Eno yang menepuk pelan punggungku, membiarkanku menangis di pelukannya. Bang Eno, cuman Bang Eno sekarang sandaranku untuk semuanya. Aku tidak mau menangis di depan kedua orangtuaku, meski aku tahu kalo mereka sangat khawatir dengan keadaanku.

Apalagi aku tidak akan menangis di depan Aden, aku tidak mau membuatnya ngerasa bersalah dan ngerasa terbebani karena ini. Ini bukan salah dia. Ini kehendak Tuhan.

“Udah, lo jangan nangis lagi. Almira adik abang itu orangnya macho.” goda Bang Eno yang mengurai pelukanku darinya dan mengusap pipiku yang basah. “Lo harus tegar demi dia.” aku mengangguk pelan.

"Mana Almira yang kuat?" aku tertawa sumbang dan memukul perutnya.

***

“Al.”

“Hm?” sahutku dengan dehaman, aku sibuk membolak-balik buku pelajaranku di sofa seberang brankanya. “apa?” aku mengalihkan kegiatanku dan melihatnya.

“Mending lo pulang aja. Lo butuh fokus belajar.”

“Gua baik-baik aja. Enggak ada bedanya. Lo juga harus belajar, lo enggak bakalan ikut ujian nasional?” lemparku balik.

“Ujian nasional? Gua enggak tahu.”

“Kenapa? Lo kan berhak ikutan. Mereka bakalan dateng ke sini kan? Om Dusen...”

Aden mengangguk untuk semua jawabanku, “Iya.”

“Jangan mentang-mentang lo pinter jadi enggak perlu lagi belajar.” sindirku, Aden cuman ketawa mendengarnya.

“Fakta.” akunya bangga dan aku kembali mencibirnya. “Udah ada buktinya.”

“Yelah.” cibirku lagi dan mencoret-coret bukuku. “Den.”

“Hm?” giliran Aden yang menyahutiku dengan dehaman, aku meliriknya kesal dan dia cuman nyengir polos.

“Lo harus janji ke gua.”

“Janji apa?”

“Lo bakalan ikutan ujian nasional. Lo bakalan ikutan ujian masuk universitas. Kita harus satu universitas.” paksaku.

“Al...”

“Lo harus janji ke gua.” aku kembali memaksanya. Aden menghembuskan napas beberapa kali dan menunduk sebentar. “Den.”

Dia tersenyum kepadaku dan mengangguk, “Iya.” jawabnya mantab.

“Gua percaya lo pasti sembuh lagi kayak dulu dan bakalan sehat terus.” rapal doaku untuknya.

“Iya.”

“Oh ya, Rumi?”

“Dia bakalan ke sini kalo weekend aja.”

“Lo...”

“Enggak. Kita cuman temenan aja.” sambar Aden dan aku nyengir padanya. “Kita temenan.”

“Oh, oke.”

“Deket bukan berarti gua pacaran sama dia, Al.” ujar Aden.

“Terus gua ama lo apa ini? Kedekatan kita apa namanya, Den? Persahabatan kita dari kecil?  Lo tau kejelekan gua dari yang seorok sampe seupil pun, sebaliknya gua juga.” ujarku.

“Menurut lo apa?”

“Sodara?” tebakku, dia cuman mengedikkan bahu sok tak mengerti atau memang tak ingin menjawab tebakanku itu.

Beneran Aden cuman nganggep aku sodara?

Lo gimana Almira?
Hubungan lo sama Aden itu apa? Hubungan lo sama Adji dulu apa?

“Terus, menurut lo gimana Al?”

Deg... pertanyaan itu beneran terlontar dari Aden. Aku harus jawab apa? Aku sendiri enggak tahu jenis hubungan apa ini diantara kami berdua? Sekedar tetanggaan atau lebih dari itu? Keluarga kami sudah saling kenal sejak kami masih kecil, mereka adalah teman masa perkuliahan dan kami berdua selalu bersama-sama saat melakukan hal apa pun itu. Baik masalah sepele pun.

“Itu...”

“Lo enggak bisa jawab atau enggak tahu jawabannya, Al?” aku menatap Aden yang menatapku tajam. Kuletakkan bukuku di atas meja dan menundukkan kepala, “Apa hubungan kita, Al?” ulangnya.

“Entahlah.” jawabku lirih dan kedua tanganku saling meremas erat-erat. “Gua...”

“Ayo restart semuanya, Al!” aku mengeryit tak mengerti dengan ucapannya.

“Lo...”

Restart perasaan lo dan semuanya. Kita mulai lagi dari awal dan enggak serumit ini, Al.”

Kupejamkan mataku sebentar dan menghembuskan napas dari mulutku pelan-pelan, Kutatap Aden dengan rasa bersalah yang amat sangat besar, “Hm... Sori, ya.” ucapku lirih.

Aden cuman menganggukkan kepala pelan dan tersenyum padaku.

Restart.” gumamnya lirih yang rasanya nyaris terdengar sangat keras dan jelas di telingaku.

Aku hanya menunduk dan melihat kedua tanganku yang saling meremas.

Restart?

Please Stay [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang