Setiap luka butuh obat
Setiap luka butuh waktu untuk sembuh
Tapi, luka ku ini tidak ada obatnya dan tak terbatas waktu untuk sembuhnya
Luka ini selalu mengganga perih
Menyiksaku setiap malamnya"Hai, apa kabar? Gua masih suka nulisin nama lo di pasir ini." kataku berjongkok, sebelah tanganku memeluk erat buku dongeng kesukaan Aden dan tangan lainnya mencoret-coret pasir. Menuliskan satu nama yang selalu bersemayam di hatiku. Raden Al Shihab.
"Gua enggak pernah bosen nulis nama lo. Sakit emang tapi membuat gua damai, sedikit aja sih." kataku lagi yang terus saja menulis namanya saat air lautan menyapu habis namanya yang baru selesai aku tulis.
"Lo tau, gua kangen banget sama lo. Gua selalu mimpi buruk," isakku yang terus menulis namanya tanpa henti meski sang biru terus meraup namanya. "gua butuh lo. Kenapa lo jahat banget sama gua?"
Aku menelungkupkan kepalaku pada buku dongeng yang aku peluk. Meski aku hidup sampai sekarang setelah dia pergi, aku merasa hidup ini tak ada artinya. Hampa. Berpura-pura baik-baik saja di depan semua orang.
"Gua kayak orang gila. Penuh kemunafikan. Semua itu gara-gara lo." kataku terisak. "Pulang dong, jangan pergi jauh-jauh kayak gini."
"Al,"
"San, kenapa kek gini sih?" isakku menyandarkan kepalaku di lengannya. "Sakit,"
"Lo harus kuat, ya." aku muak dengan kata-kata semangat itu. Mereka tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku kesakitan tanpa ujung. "Pulang, yuk. Udah sore nih."
Aku mengangguk, "sebentar, lo duluan aja."
"Oke."
Setelah kepergian Santi, aku membuka sampul tebal buku dongeng The Red Star. Sengaja menyimpan lipatan kertas berbentuk kapal di sana. "Aku udah nulis surat buat lo. Dibaca ya. Gua kangen banget sama lo soalnya." aku mulai melayarkan perahu kertasku pada lautan biru yang menariknya menuju lautan lepas.
Aku enggak akan pernah ngucapin 'selamat tinggal' buat Aden. Karena jika aku mengucapkannya, aku mengakui dia pergi jauh dan tak akan kembali lagi padaku, "sampai jumpa. Plis datang ke mimpi gua." pintaku dan berdiri. Meninggalkan pantai biru.
Dua tahun, ya dua tahun kamu ninggalin aku. Dua tahun itu juga aku tak lelah meminta kamu buat pulang. Tidak akan ada kata lelah buat aku memperjuangkanmu, Den.
Katakan saja aku gila. Memang aku gila. Tapi, mereka tidak tahu bagaimana perasaanku.
"Udah?" Aku mengangguk setelah memakai seat belt. Mobil melaju meninggalkan pelataran pantai.
"Sampai jumpa, ya." pamitku menatap lautan biru dari balik kaca mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Stay [FINISHED]
Teen FictionBagi Al, Aden adalah galaksinya yang begitu luas untuk dia arungi Bagi Al, Aden itu udara yang selalu dia butuhkan setiap hari Bagi Al, Aden itu narkotika yang selalu membuatnya kecanduan Al suka Aden yang sama-sama menyukai bintang Polaris Ini adal...