24. Sepasang Luka

3.1K 161 13
                                    

Kau yang memanggilku dari dunia mimpiku, lantas kenapa pergi setelah semuanya telah kembali. Apakah kau sudah kehabisan nyali?

***
Anggita POV

Anggita Adelia Rinjani koma selama dua hari.

Mendadak menjadi trending topic disekolahan, langkah kakiku mendadak menjadi berat, sorot mata satu yang lainnya sama saja, hanya berisi sedikit simpati dan sisanya hanya mereka yang bisa menafsirkannya.

Kali ini fajar nampak lebih malu-malu karena kabut menyerang membelai tiap lekuk daun hijau yang sebagian daunnya dibasahi embun. Tetesan hujan masih hidup diantara dua batuan tanah, sampai celah sinar berhasil mengembalikan seperti hari biasanya.

Tujuan utama saat ini adalah bangku taman belakang, tempat yang jarang dijamah kelas sebelas ataupun kelas duabelas karena letaknya berdekatan dengan kelas sepuluh. Bukannya mereka tidak mau tapi berada disekitar adek kelas adalah salah satu hal paling tidak penting bagi senior tengah maupun senior atas disekolah kami.

Kakiku menendang nendang kecil batu kerikil, sambil memandang lurus kedepan. Tatapan kosong dan pikiran melayang kemana-mana.

"Lo ngapain?"

Suara itu berhasil membuatku menoleh, dan sosok yang sering mengganggu pikiranku sedang berdiri dengan dua tangan dikantongi.

"Pengen sendiri aja"

Setelahnya sama seperti biasanya, tidak ada yang membuka suara. Aku menghela napas dan meliriknya sekilas, dia menyumpal kedua telinganya dengan earphone, santai disertai pejaman mata.

Pikiranku kembali diterjang oleh pertanyaan pertanyaan dirumah sakit kala itu, aku memandang pria disampingku, bagaimana caranya bertanya?

Aku menarik satu earphone miliknya dan berhasil membuat pria itu menoleh. Mata kami saling bertemu, terlebih saat mataku menangkap bibirnya yang segar. Seketika pipiku kembali memanas, dengan cepat aku menunduk, wajahku semerah tomat jika aku terus menatapnya.

"Apa?"

Satu kata darinya berhasil membuatku menolehkan kepala lagi, batinku memotivasi supaya aku lekas bertanya. Jika tidak bertanya aku hanya akan dihantui pertanyaan pertanyaan itu, maka endingnya aku akan mati penasaran.

"Sorry, gue lancang, gue cuma mau tanya a-apa bener lo yang buat gue bangun dengan..."

Aku tidak mampu meneruskan kalimatku, rasanya malu dan takut bercampur menjadi satu. Tidak mungkin aku mengatakannya secara frontal, mengingat Langit bukanlah orang lama yang aku kenal.

"Dengan apa?" tanya nya dengan wajah tenang.

"Dengan cara apa itu belakangan, sekarang gue mau lo bilang iya atau tidak"

Langit sedikit berpikir, mungkin sedang merancang kata. Baru saat Langit mengangkat wajahnya si ketua osis sarap datang dan merusak semuanya.

"Anggi, lo sejak kapan disini, gue nyariin lo tau nggak"

Pandangan Angga jatuh pada Langit, semburat garis wajah berubah seketika, membuatku bertanya ada apa dengan mereka berdua. Apa ada masalah selama aku koma dirumah sakit?

"Langit, ikut gue"

Tiga kata yang terucap, singkat tapi dengan nada dingin yang menusuk. Sebenarnya Angga dan Langit kenapa lagi sih, mereka selalunya tidak pernah terlihat 'welcome satu sama lain.

Dengan berat hati pastinya, Langit menuruti Angga dan berjalan menjauh sampai aku tidak melihat punggungnya.

***

Elang [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang