14. Pertolongan Istimewa

3.6K 183 4
                                    

Logika ku terlalu heboh, sampai membiarkan hati ini tetap kokoh tanpa roboh.

***
Kelabu menggelantung bersama langit, membaur bersama awan dan angin sepoi-sepoi menghembus kesana kemari. Berjejer rapi sepeda dari warna pekat hingga warna cetar.

Jam menunjukan pukul setengah tujuh, matahari belum muncul terhalang kelabu yang sedikit mulai melekat. Hari ini hari ulang tahun sekolah semuanya sibuk dengan riasan warna putih dan hitam.

Aku sampai tepat waktu sebelum suara sounds dan bendera mulai dikibaskan. Sepeda warna warni dengan penunggang ber-dresscode hitam putih mengayuh dengan semangat dan senyum lebar pula.

Sendirian, itu yang aku rasakan. Tidak ada Angga, sepertinya Angga sibuk dengan urusan kepanitiaan. Aku menghela napas pelan, sembari melihat siswa dan siswi bersepeda saling berjejer, berhias tawa dan senyum yang tak pudar meski jarak telah jauh.

Dijembatan, tepatnya tempat dimana ramai orang-orang menyebrang, aku melihat sosok orang sedang berdiri sambil mengayunkan tangannya, mirip seperti polisi lalu lintas.

"Mari bu saya bantu menyebrang"

Senyum mengembang dibibirku, dia itu baik. Padahal tidak ada yang memintanya untuk melakukan semua itu. Dia tersenyum samar melihatku melewatinya, buru-buru aku memalingkan wajahku.

Sialnya, sepedaku rusak ditengah jalan. Maklum sepeda lama jarang dipake. Aku menoleh kebelakang, menunggu mobil sekolah pengangkut sepeda masih jauh, bahkan belum terlihat.

Nasib buruk, sudah sendiri ditimpa sepeda rusak pula. Suara bariton dari arah belakang mengejutkanku, membuatku refleks menoleh.

"Kak Rinjani?"

Mataku membulat sempurna ketika si pemilik suara bariton itu adalah orang yang sama dengan orang dijembatan tadi.

"Sepedanya rusak Kak? Bonceng aku aja"

Elang mengisyaratkan aku untuk naik diboncengan belakang, jantungku terpomoa cepat, darah dalam tubuhku berdesir. Benarkah jika saat ini aku masih mencintainya? Setelah kata pencitraan pernah terlontar dari bibirnya?

Jawabnya pasti iya, karena menurut buku-buku yang pernah aku baca 'sejahat apapun orang yang kau cintai melukai hatimu, kau akan tetap mencintainya sebanyak apapun kesalahannya.

Dan itu benar, soal kemarin bahkan aku sudah melupakannya. Kali ini aku benar-benar telah dibutakan oleh cinta.

Aku menurut dan naik diboncengan belakang, hening. Tidak ada yang membuka percakapan. Kami sama-sama larut dengan pikiran kami masing-masing.

"Kak?"

Panggilnya mengalihkan duniaku, aku kembali dari dunia lamunan.

"Iya Lang?"

"Kok jantung aku deg degan ya?"

Pipiku terasa panas, mati-matian aku menahan senyum meski percuma jika tersenyum pun Elang tidak akan tahu. Iyalah kan sepedanya nggak ada spion.

"Kenapa gitu?"

Geli sendiri, dua kata itu adalah pertanyaan paling klise untuk anak-anak peka. Tapi entahlah.

"Nggak tau juga Kak, setiap sama kakak aku pasti ngerasain kayak gitu"

Aku hanya menahan detakan jantung yang sudah tidak karuan lagi, ditambah rasa panas dipipiku menjalar bagai ubi jalar, cuma dia orang yang pertama kali membuatku seperti ini. Jadi apakah salah jika aku mulai mencintainya?

Sepeda yang ditunggangi Elang memelan dan berhenti tepat didepan gerbang sekolah, "Makasih Lang" aku berjalan masuk ke halaman sekolah.

"Lain kali gausah ditutupin mukanya Kak"

Elang [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang