2. Surat Cinta

6.7K 339 2
                                    

Pada hari itu
Tanpa sengaja, Tuhan mempertemukan kami dalam surat cintanya.

***

"Untuk MOS besok pagi, kalian semua di wajibkan menulis surat cinta untuk panitia yang menurut kalian menarik. Dan jangan lupa amplopnya warna merah maroon. Besok setelah ada aba aba dari saya langsung kasih ke kakaknya.. kalian mengerti?"

Aku berdiri menyender tiang di aula, memperhatikan Angga yang sedang memberikan bahan MOS untuk besok. Untungnya besok hari terakhir, jadi aku tidak perlu lari kesana kesini hanya untuk menghampiri murid-murid baru yang manja itu.

Angga masih menyampaikan penugasan besok, tiba-tiba saja dari arah depan terdengar suara teriakan keras. "Kaki gue kram!"

Aku segera berlari menghampiri asal suara, pria yang kuinjak sepatunya kemarinlah pemiliknya. Aku menoleh ke belakang, mencari-cari PMR lain, tapi mereka tidak ada. Sial, kemana mereka. Nanti kalau nyawa mereka habis diterkam Angga, rasakan saja.

Aku membantu pria itu berdiri, memapahnya menuju UKS dengan kaki terseok. Sepanjang jalan ia terus mengeluh kakinya sakit, berteriak hiperbola seperti kakinya mau patah. Dasar laki-laki lemah, batinku.

Sampai di UKS, pria itu berdiri tegak, melepaskan lengannya yang tadi melingkar di bahuku, lalu berjalan biasa menuju ranjang. Dia merebahkan tubuhnya disana, matanya terpejam.

"Seger banget gila, adem." ocehnya tanpa dosa.

Aku mendekat ke arahnya, "Lo tuh yang gila! Bisa-bisanya ya lo bohongin gue."

Pria bernama Elang itu membuka matanya, lalu menyilangkan kakinya sambil diayunkan ke kanan dan kiri. "Oh, lo masih disitu? I'm sorry but my foot is fine yet."

"Pencitraan! Maksud lo apa hah?! Lo mau seret panitia PMR buat dimarahin habis-habisan sama Angga?!"

Elang menghela napas panjang, tangannya disilangkan di depan dada. "Lagian siapa sih yang betah dengerin bacotan nggak guna ketua osis itu? MOS cuma ajang perpeloncoan, dan gue sekolah bukan buat dipelonco!"

Tanganku mengepal, bocah ini minta ditonjok. Tahan Anggita, tahan. Aku mencoba menetralkan napasku. "Lo tuh adek kelas yang nggak ada tata kramanya ya, nggak pernah diajarin sopan santun sama orang tua lo?"

Elang tersenyum, jenis senyum smirk. "Bokap gue sibuk kerja, jadi nggak ada waktu buat ngajarin. Ajarin dong kak—" ucapnya terputus, dia melirik name tag diseragamku.

"Rinjani."

Seenaknya saja menyebut namaku, tanpa izin memanggil Rinjani. Memangnya aku mau dipanggil itu.

"Gue Anggi, nggak usah ganti panggilan gue."

"Tapi nama lo ada Rinjaninya, gue nggak salah dong. Suka-suka gue juga, mulut-mulut gue."

Kalau aku bukan panitia sudah ku tampar muka bocah itu. Demi menjaga image Organisasi PMR, aku harus menahan emosi yang sedang meletup-letup.

"Gue bakal aduin semuanya ke Angga, dan lo harus kena hukuman."

Aku berbalik, tanganku sudah menyentuh gagang pintu. Suaranya tiba-tiba menginterupsikan aku untuk berhenti, "kayaknya puisi ini bagus deh kalo ditempel dimading. Apa nih, untuk kakak kelas inisal A. Waw keren." Katanya sambil mengeluarkan kertas lusuh dengan coret-coretan tinta absurd didalamnya.

Jantungku berdetak cepat, aku mengumpat dalam hati. Sial, dia pegang kartu as ku. Coretan saat aku sedang melihat Alan di kantin tadi. Tapi bukannya aku membuangnya.

Elang [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang