29. Bintang

2.6K 148 2
                                    

Kita itu berbeda, kamu adalah bintang dan aku hanya hujan dengan petrichor sebagai pelengkapnya, namun asal kau tahu, hujan akan tetap turun meski bintang masih menggantung.

***
Deru suara kuda besi menyeruak dihalaman rumah, bersamaan dengan itu pula aku menyibak korden jendela dan menemukan siluet yang menganggu pikiranku akhir-akhir ini. Malam ini aku memutuskan untuk menunda pertemuanku dengan Elang, dan menjatuhkan pilihan untuk menyanggupi Langit ke taman pusat kota meskipun nanti aku yakin Langit akan marah padaku karena aku menipunya.

Urusan bintang jatuh itu belakangan, yang penting bisa bersama dengan Langit. Aneh bukan?

Aku menjatuhkan pilihanku pada celana jeans panjang dengan sweter merah muda, juga dengan sepatu sneaker putih tentunya. Aku berjalan agak sedikit cepat karena aku tidak ingin Langit menunggu, ketika aku sampai didepannya Langit hanya diam, sambil sesekali mengamati penampilanku.

Apakah buruk?

Langit hanya diam, tidak merespon apa yang batinku katakan hanya memberiku sebuah helm lalu kupakai. Setelahnya kami hanya saling diam sampai motor miliknya mengantarkan kami menuju taman pusat kota.

Masih dengan diam yang sama, kami sama-sama berjalan, entah kemana aku hanya menurut Langit saja. Terus berjalan hingga Langit berbalik menatapku.

"Anterin gue ke tempat dimana, gue bisa liat bintang jatuh"

Tenggorokanku terasa kering, tidak mungkin kan jika aku memberi tahu dia yang sebenarnya saat ini, bisa-bisa belum apa-apa Langit sudah pergi meninggalkanku. Aku tidak mau menjadi jomblo tragis yang ditinggal gebetan ditengah taman seperti ini.

"Ikut gue"

Langkah kakiku menuntunku menuju sebuah jembatan kecil yang dibawahnya terdapat aliran anak sungai. Kelap kelip kunang-kunang ikut serta sebagai penghias sekaligus saksi dimana kebohongan Anggita Adelia dimulai.

Langit mendongak, menatap bintang yang bertengger manis disana. Tidak ada tanda-tanda ingin jatuh atau apapun.

"Berapa lama harus menunggu?"

Kalimat Langit mencoba membuatku berfikir tenang, karena kata Mama tadi sebelum aku berangkat, apapun yang akan terjadi aku harus berfikir tenang, agar dengan mudah menemukan jawaban.

"Lo mau liat bintang jatuh?" Langit mengangguk pelan dengan kepala tertoleh ke arahku.

"Beneran pengen?" Langit mengangguk lagi, kali ini tatapannya serius, membuatku agak sedikit bergidik ngeri.

Aku mencoba mengalihkan pandangan, dengan kata lain mencoba menarik nafas dan mencari ketenangan. Kemudian aku kembali menatap Langit sambil tersenyum.

"Kalo mau lihat bintang jatuh, jangan lihat langsung ke bintang..."

"Kenapa?"

"Jauh.. Lihatnya dari bumi aja"

Awalnya aku kira kalimatku adalah jokes garing, tapi lama kelamaan sudut bibir Langit tertarik ke atas. Membentuk sebuah lengkungan yang sulit dipercaya.

Langit mengacak rambutku, dan membuatku ikut tersenyum. "Gue tau lo bohong, karena lo pembohong yang buruk"

Aku menatap air yang sedikit bergemericik, diterjal bebatuan.

"Lo nggak marahkan Lang?"

Aku tidak berani menatap matanya, barangkali dia tersenyum hanya untuk melegakan hasil jerih payah jokes garingku.

"Enggak, malam ini gue lagi baik. Jadi biasa aja"

Langit berjalan meninggalkan jembatan itu, aku mengikutinya. Yang membuatku sedikit bingung, Langit menceritakan kisah tentang dirinya sambil berjalan dengan langkah pelan. Baru kali ini aku mendengar sesuatu tentang Langit secara live dari bibirnya.

Elang [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang