39. Camp

2K 123 2
                                    

Kamu apa kabar, aku menunggu kamu kembali dengan sabar

***
Fajar masih enggan nampak, semburat biru bercampur abu-abu menggantung di horizon. Embun masih setia bergelayut diantara celah-celah daun. Tanah basah sisa hujan semalam masih bisa dirasakan dengan kaki telanjang, hawa dingin sedikit menyayat kulit meski sudah di pakaikan jaket. Waktu menunjukkan pukul 6.30 AM dan kami benar-benar sudah sampai di tempat perkemahan.

Semua peserta kelas sepuluh menenteng tas, barang dan lain-lain. Sibuk menata dan mendirikan tenda. Panitia juga ikut disibukkan dengan barang-barang yang sebagaimana mestinya.

Organisasi Dewan Ambalan tampak sedang berkumpul merapatkan acara untuk peserta kemah, memang sebenarnya organisasi Dewan Ambalan yang memegang inti acara perkemahan ini tetapi pihak osis juga mempunyai andil dalam pelaksanaan, karena Organisasi Osis adalah organisasi sekolah yang tidak berdiri sendiri. Bahkan Organisasi Osis terdapat pada peraturan pemerintah.

Aku berjalan menuju tempat dimana peserta membangun tenda, sambil merapatkan jaket karena suhu udara disini lumayan dingin. Bibirku tersenyum tipis mengamati bagaimana antusias dan kekompakan mereka. Lalu yang terjadi berikutnya tanpa aku ketahui dua orang peserta berlarian, kejar mengejar. Dan dampak dari yang mereka lakukan terjadi padaku.

Aku sedang melintasi jalan dengan posisi tanah miring, hampir mirip seperti jurang namun dalam bentuk ukuran kecil, tidak ada batu hanya ada sedikit genangan.

Mereka berlarian, sampai pada tempatku berdiri mereka menyenggol lengan ku dan membuatku yang sedang berdiri di posisi miring jadi kehilangan keseimbangan. Aku menutup mataku dan pasrah jika sepagi ini aku harus mandi lumpur.

Namun yang terjadi, lengan seseorang menahanku. Aku membuka mata perlahan, menatap pemilik mata yang telah menyelamatkan ku. Dia si pemilik mata hitam pekat sepekat malam, yang dulu pernah ku puja karen suara baritonnya.

Kalian masih ingat?

Tentu saja, dia adalah Elang Gabriello Samudera. Cowok berperawakan tinggi yang menyakitiku dengan jurus pencitraan nya.

Dia menatapku lekat, "Kak Rinjani nggak apa-apa?" matanya penuh akan sorot khawatir.

Sadar akan posisi kami yang seperti adegan alay ala-ala sinetron, aku segera berdiri tegak. Ucapan manisnya juga sorot matanya memang boleh menipu, tapi apa yang dia lakukan barusan untukku perlu di apresiasi. Karena jika Elang si bocah pencitraan ini tidak ada, aku bisa kehabisan lulur. Padahal baru hari pertama di perkemahanan.

Aku mengangguk pelan, "iya. Makasih"

Tidak mau berlama-lama dengan dia, aku berniat untuk melanjutkan aktivitas ku yang sempat terhambat karena insiden tadi, tapi saat aku baru melangkah sekitar tiga langkah. Dia menahanku.

Aku menoleh, mata hitam pekatnya meneduh. Mengingatkan ku pada acara ulang tahun sekolah saat dia sedang menyanyikan sebuah lagu sambil menatapku, aku masih ingat. Bahkan pohon itu dan semilir angin hari itu pun jika tidak membisu mereka pasti akan membenarkan ucapan ku.

Dia menggigit bibir bawahnya, "Eh-hm, Kak Rinjani masih inget nggak?" dia menggaruk tengkuknya "soal jawaban truth or dare itu"

Aku kembali mengulas balik apa yang di ucapkan Elang, dan untung saja aku masih mengingat nya jadi aku tidak perlu berlama lama berdiri di depan nya.

"Iya masih inget, kenapa?"

"Kemah hari kedua aku minta jawaban itu Kak, dan aku nggak mau ada orang yang denger soal itu. Jadi kita ketemuan di tempat yang agak sepi, bisa?"

Tanpa sengaja aku melihat Langit sedang berjalan ke arah ku, tapi Langit tidak melihatku dia sedang fokus dengan kardus yang dibawa. Langit sedang menunduk mengamati jalan karena jalannya agak sedikit terjal.

Elang [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang