32. Tes Ketos

2.2K 130 3
                                    

Malam semakin larut, dan rasa bersalahku padamu tak kunjung surut.


***
Semburat senja mulai nampak, sekolah sudah lenggang beberapa jam yang lalu. Tapi ruang bernuansa putih itu belum juga terbuka, isinya hanya tiga orang di dalam sana namun cukup membuat bernapas berat mengingat apa yang mereka bertiga lakukan.

Tes..

Mereka bertiga sedang di uji tes tertulis oleh waka kesiswaan, bayangkan tes yang dilewati untuk menjadi ketua osis international high school bukanlah perkara mudah. Ditambah high school sky blue adalah salah satu sekolah inti yang memiliki cabang di luar negeri.

Ini baru tes tertulis, belum lagi tes wawancara, tes psikologi, pidato 5 bahasa dan sebagainya. Aku sendiri memilih untuk menjadi PMR saja, yang tidak perlu ambil pusing untuk masuk ke dalam organisasinya. Tinggal mengikuti tes satu kali lalu pembekalan dan selesai.

Aku meremas kotak bekal warna biru muda, sambil sesekali menghela napas berat. Tak lama, pintu ruang itu terbuka. Munculah sosok yang selama ini membuatku kacau balau. Disusul oleh Angga dan yang terakhir si pencitraan kecil itu.

Mereka bertiga adalah pejuang pemangku jabatan ketua osis, dari 4 orang yang terdaftar, mereka bertiga yang lolos. Karena pemilihan pertama berdasarkan voting online dua angkatan, yaitu kelas sepuluh dan kelas sebelas.

Langit memandangku sekilas, lalu pergi begitu saja. Hal itu di lakukan juga oleh Angga, namun aku menahannya. Si pencitraan itu juga memandang ku sekilas lalu pergi meninggalkan aku dan Angga di depan pintu.

"Gimana tes nya, Lancarkan?"

Angga tidak memandangku, dia hanya melirik sekilas lalu berkata sambil beranjak pergi. "Ada tugas yang harus gue selesaikan di bawah, sorry"

"Ngga.." aku menahannya lagi

Dia terlihat malas berbicara denganku, dan tidak ingin memandang wajahku. Apa sebegitu marahnya Angga denganku?

"Gue nggak ada waktu buat ngeladenin siapapun Nggi"

Dia juga sepertinya tidak mau berlama-lama berdiri didepanku, gelagatnya ingin cepat-cepat pergi dari tempat pijakannya. Aku menyodorkan kotak bekal warna biru muda ke arahnya, berharap dia mau menerima.

"Makasih.." selanjutnya dia pergi tanpa berucap apapun lagi untukku, aku tidak mengerti kenapa ada rasa aneh ketika Angga menjauh. Apa karena sudah dari kecil aku terbiasa bersama dengan Angga, dan ketika kami sudah besar lalu salah satu menjauh terdapat rasa kehilangan?

Langit dan Elang sudah turun, mereka berjalan depan-belakang. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya karena langkah mereka menuju lab komputer, aku menatap mereka dari kejauhan. Angga terlihat memanggil Elang dan seperti membicarakan sesuatu.

Terakhir yang ku lihat dari atas sini, Angga memberikan kotak bekal biru muda itu pada Elang dan berjalan mendahului Elang. Ada rasa aneh di dalam sana, entah perasaan sakit atau apa aku tidak tau persis penjabarannya.

Elang menatapku dari bawah sana, sedikit lebih lama dan aku memutuskan kontak mata darinya. Aku memilih untuk turun dari lantai dua dan berniat untuk pulang. Semuanya terasa begitu sesak, entah kenapa orang yang selalunya menjagaku dan menemaniku sejak kecil kini menjadi orang yang membenciku seperti aku ini adalah musuhnya.

Sejak satu minggu yang lalu Angga berubah, sikap nya yang dingin padaku membuatku semakin merasa bersalah, ditambah setiap berangkat sekolah dia selalunya diam dan menungguku di dalam mobil, tidak seperti biasanya yang masuk ke dalam rumahku terlebih dahulu.

Aku menunggu di depan gerbang, sambil menunggu Mama menjemput. Sebenarnya aku tidak tega pada wanita kesayanganku itu, pasalnya satu minggu sekali Mama harus bolak balik Indonesia-Singapura untuk mengunjungi Kak Adel, sedangkan aku sendiri belum memiliki nyali untuk mengunjungi orang yang hampir saja membunuh ku.

Trauma itu masih ada, dan sampai sekarang aku masih rutin datang ke tempat Langit, menemui Bundanya demi menghilangkan trauma itu. Itu semua aku lakukan karena aku menyayangi Kak Adel, jadi jika Kak Adel sudah sembuh nanti aku tidak ingin terlihat ketakutan saat bertemu atau bersama dengannya.

Mobil Mama sudah berada di depan, aku segera masuk mobil. Ada sesuatu yang aneh ketika aku memasuki mobil, raut wajah Mama.

"Ma, kenapa?"

Aku memilih untuk bertanya daripada rasa penasaran itu hanya memuncak dihati.

"Mama bingung gimana ngomongnya sama kamu Nggi, tapi kamu juga perlu tau"

Aku menegakkan posisi dudukku yang semula bersandar, "soal apa Ma?"

Mama menghela napas berat, "kondisi kakak mu disana semakin buruk, dia butuh Mama untuk mendampingi agar kejiwaannya kembali pulih. Jadi terpaksa Mama harus ninggalin kamu sendirian"

Aku terdiam lama, memikirkan apa yang mestinya aku lakukan. Aku ingin Mama tetap disini tapi aku juga tidak boleh egois, mengingat Kak Adel paling membutuhkan Mama di banding aku.

"Iya Ma, nggak apa-apa kok. Lagian kan Kak Adel jauh lebih butuh Mama dibandingkan aku"

Mama tersenyum, mengelus rambutku sekilas lalu fokus menyetir lagi.

"Kamu tenang aja, Mama udah nitip kamu ke keluarga nya Angga. Jadi kalo kamu takut dirumah sendiri atau butuh apapun, kamu bisa datang ke rumahnya Angga"

Angga? Aku rasa datang ke rumah nya adalah jalan terbaik untuk meminta maaf.

***

Suara langkah kaki terdengar dari ujung pintu, aku menoleh kemudian berdiri. Menyambutnya dengan senyum, dia sendiri hanya sedikit terlonjak. Hanya butuh beberapa detik saja raut wajahnya bisa kembali seperti semula.

"Lo ngapain disini?"

Aku sibuk menata kalimat, sampai Om Heru membantuku untuk menyampaikan sesuatu padanya. "Anggita dateng kesini mau ketemu kamu, kok kamu malah nanya gitu sih? Lagian kan udah biasa Anggita dateng ke sini"

Dia mengacak rambutnya, wajahnya terlihat lelah. "Gue capek, mau istirahat"

Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh, namun langkah kakinya terhenti ketika suara papa nya menyeruak menghentikannya.

"Angga sini kamu!"

Angga tidak menurut, dia hanya menoleh dan setelahnya memasang wajah kesal. Wajah yang tidak pernah dia perlihatkan sama sekali padaku.

"Pa, Angga capek. Angga mau istirahat, besok ada tes ketos lagi"

"Tapi ada Anggi, kamu nggak ngehargain dia? Dia udah nunggu kamu selama dua jam"

Angga berdecak kesal, kemudian berlalu menaiki tangga tanpa memperdulikan papanya yang berusaha memanggilnya.

Mataku memanas, dan dadaku terasa sesak lagi. Baru pertama kali ini dia marah padaku sampai menyakitiku seperti ini.

"Anggi, kamu lagi ada masalah sama Angga?"

Aku menggeleng pelan, aku tidak ingin kedua orang tua Angga tahu jika kami memang ada sedikit masalah.

"Yaudah om, Anggi pamit pulang dulu ya. Besok Anggi kesini lagi"

Aku bersalaman dengan Om Heru, dan berusaha menutupi air mata yang ingin tumpah.

"Maafin Angga ya, Nggi. Mungkin dia emang bener-bener capek"

Aku mengangguk sekali lagi, "titip salam buat Angga dan Tante Hera ya om"

Setelahnya aku berbalik, perlahan berjalan keluar dengan rasa sakit yang sulit dijelaskan. Lalu sekarang aku harus bagaimana? Kehilangan sahabat adalah hal terburuk melebihi apapun.

***

Vote & komen ditunggu..

Maaf baru update ya.

Blue sky

Elang [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang