7. Secangkir Kopi

3.8K 246 4
                                    

Waktu itu kau ajak aku ke kedai kopi, setelahnya kau racuni aku dengan secangkir kopi. Dan aku mau melepas cintaku seperti lembaran foto kopi


***

Aku menghela nafas panjang, hingga titik titik embun menempel pada kaca jendela kelas di lantai 2, hari ini cuaca mendung dan baru saja hujan usai. Masih tersisa gerimis yang bergemerintik di luar.

Hari ini juga aku harus bertemu dengan Alan, sesuai dengan kesepakatan kami kemarin.

Kurapikan buku buku dan bergegas keluar kelas. Di depan pintu aku berpapasan dengan Angga.

" Pulang bareng kan? "

Aku menggeleng pelan, ada rasa tidak enak saat menolak lagi.

" Sama Elang lagi? "

Aku diam, kemudian menggeleng. Ku harap Angga bisa mengerti. Aku berlari menuruni tangga, kemudian mataku tanpa sengaja melihat ke arah papan mading. Puisiku sudah tidak ada, kemana?

Aku melirik arloji yang melingkar di tangan kiriku, segera aku bergegas menuju kedai kopi dekat sekolah, berharap aku tidak membuat Kak Alan menunggu.

Jalanan sedikit becek karena hujan tadi membuat efek bercak coklat pada kaos kaki dan rok.

Aku mengambil nafas panjang sebelum membuka pintu, pertemuan pertama kami semoga saja tidak buruk.

Aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru, pandanganku jatuh pada meja tengah yang di duduki pria berkulit langsat dengan tatapan dingin. Aku segera melangkahkan kakiku kesana.

" Maaf Kak, nunggu lama"

Aku duduk berhadapan dengan Kak Alan, jantungku berdebar seperti saat aku bersama Elang. Kuharap wajahku tidak menunjukkan wajah cemas.

" Tunggu sebentar.. "

Kak Alan berjalan menuju tempat pemesanan kopi, aku tersenyum dalam diam. Hal ini mirip seperti kejadian bersama Elang waktu itu.

Kak Alan meletakkan dua cangkir kopi di hadapanku, kemudian dia mengambil selembar kertas di saku celananya.

Kepada Tuan Matahari

Hari itu kulangkahkan kaki
Menuju hati tuan yang sakti
Kulihat mata arang segarang elang
Terpancar di balut kulit pucat terang
Lalu aku bertanya kepada tuan
Mengapa bertemu ketika berawan
Kenapa tidak saat hujan?
Padahal hujan satu dari seribu kesukaan.
Jiwa ku berkata
Ragaku menata
Ku harap kau adalah satu satunya
Cintaku, bagaikan tuan surya
Ku harap kau bukan suatu kesalahan
Yang sering Cinta takutkan.

Aku melonjak kaget saat Kak Alan membacakan puisi buatanku yang ku pajang kemarin.

Keringat dingin menyapu seluruh tubuhku, telapak tanganku seperti kutub Selatan dan kaki ku bergetar.

" Ini puisi untuk adik saya? "

Aku menelan ludahku susah payah, berkedip satu detik saja rasanya kaku.

" Tolong jawab saya, ini puisi untuk adik saya kan?"

Aku menarik nafas dalam dalam, semoga jawaban ku tidak berefek apa apa.

" I-iya Kak, tapi itu karena TOD kok bukan karena apa apa"

Kak Alan meletakkan kertas itu di depanku, kemudian menyeruput kopi yang dipesannnya tadi.

" Saya tidak mau tahu, pokoknya kamu jauhin adik saya "

Ucapannya terdengar seperti sambaran petir di siang bolong, rasanya ada yang ngilu tapi entah apa.

" Kenapa Kak? Memangnya salah kalo aku deket sama adiknya kakak? "

Kak Alan diam, dia menghela nafas.

" Saya cuma nggak ingin kalo Elang terganggu belajarnya, tolong di mengerti "

Aku mengangguk, kemudian Kak Alan berdiri dari kursi.

" Kak.. " panggilku

" Apa? "

" Ini kopinya.. "

" Saya bayar, anggap saja sebagai hadiah dari saya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

" Saya bayar, anggap saja sebagai hadiah dari saya. Karena kamu mau jauhin Elang "

Aku mengulum senyum, dan mengamati Kak Alan yang berjalan menjauh dari kedai kopi.

Secangkir kopi itu ku angkat, ku perhatikan baik baik.

Ini adalah hadiah pertama dari Kak Alan untukku, sayang jika aku meminumnya. Tapi..

Aku merasa ada sesuatu yang di pertaruhkan jika aku menikmati secangkir kopi darinya.

Tapi apa?

♡♡♡

Tiiiiiiiinn....

Suara klakson membuyarkan lamunanku, surat yang tadinya ku pegang jatuh dan terbang tertiup angin.

Aku berlari mengejar kertas itu, karena di kertas itu tertulis puisiku untuk orang antah berantah.

Kertas itu turun tepat di tengah jalan, dan tepat saat itu juga aku mengambilnya.

Tin.. Tin..

Aku memejamkan mataku, berharap takdir Tuhan tidak membawaku pergi hari itu.

" Kak Rinjani, Kakak ngapain? "

Suara itu..

Aku mendongak, dan benar saja aku menemukan Elang sedang berdiri di depanku.

" Ngejar kertas " jawabku polos

Elang mengamati kertas yang sempat tertiup angin tadi.

" Puisi itu, kenapa di kejar? penting banget ya buat Kakak?"

Tiba-tiba terlintas bayangan Alan yang menyuruhku untuk menjauhi Elang.

" Aku pergi dulu "

Elang menggengam tanganku, lalu menawarkan untuk mengantar pulang. Dengan cepat aku menolaknya.

" Tumben gak mau, biasanya mau mau aja"

" Aku buru buru, permisi"

Tanpa menghiraukan pertanyaan darinya lagi, aku segera berlari dan menyetop taksi. Aku hanya tidak ingin menatap nya terlalu lama.

Entah mengapa jika aku melihat ke arah matanya, seakan aku ingin membatalkan kesepakatanku dengan Kak Alan tadi.

Ponselku berbunyi, kubuka aplikasi penerima pesan.

From Elang

Hati hati kak pulangnya, semoga urusannya cepat selesai. Supaya nggak buru buru lagi..😉

Dengan segera ku tutup aplikasi itu dan tidak berniat membalasnya.

***

Haiii, masih Setia dengan Elang?

Coba tebak kira kira Anggi bisa nggak jauhin Elang?

Jangan lupa tinggalkan jejak ya.

Jangan cuma siders 😔

Di tunggu vote+coment

Byeee...

Blue sky

Elang [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang