24. Last Farewell

452 71 10
                                    


Taehyung mengabaikan namja di depannya, mata hitamnya menatap liar ke dalam ruangan. Lantas, dengan gerakan terburu Taehyung melangkah masuk ke dalam ruangan, si namja meminggirkan tubuhnya yang semula ada di pintu, memberikan jalan.

"Appa. Dimana Appa?" Taehyung bertanya dengan tidak sabar saat tidak menemukan tempat tidur pasien di sana maupun sosok yang dia cari.

"ICU, setengah jam lalu." Jawab namja itu pelan. Taehyung seketika memutar tubuhnya dan berlari keluar ruangan. Meninggalkanku bersama si namja.

Kami berdua hanya diam. Tidak tahu harus bicara apa, dan tidak tahu harus bagaimana memulainya di saat hal yang kulakukan terakhir kali saat bertemu dengannya adalah membentak dan memakinya.

"Aku minta maaf, Kim Mingyu." ucapku pelan dan tulus.

 

Ya, Kim Mingyu. Keberadaannya di sini sempat membuatku kaget dan heran. Apa hubungannya dengan Taehyung? Apa hubungan mereka sehingga Mingyu ada di kamar ayah Taehyung? Mereka satu keluarga? Mungkinkah?

Suara hembusan nafas Mingyu terdengar sinis. Dia masih berdiri di dekat pintu, namun kini matanya beralih menatap milikku. Aku tidak mengerti arti tatapan matanya.

"Kau mengaku bersalah?" Walaupun tidak begitu jelas, aku masih bisa mendengar nada marah dalam nada bicaranya.

Aku menghela nafas, lalu mengangguk. "Aku minta maaf karena membentak dan berkata kasar saat itu. Aku hanya panik dan seperti tidak bisa berfikir."

"Tidak bisa berfikir, eh? Tapi kau memakiku dengan sangat lancar."

"Untuk itu aku benar-benar minta maaf."

Mingyu tidak menanggapi permohonan maafku. Dia hanya diam, begitupun denganku. Jujur saja aku merasa bersalah karena dengan kasarnya menuduh Mingyu menyebarkan fotoku dan Taehyung saat itu.

Namun beberapa saat kemudian suara langkah terdengar. Mingyu menghampiriku dan kini tubuh menjulangnya berdiri di hadapanku, refleks membuatku mendongak menatapnya. Tatapan matanya sedikit sayu.

Aku baru akan membuka suara saat kedua lengan Mingyu merengkuhku ke dalam pelukannya. Namja itu menunduk, menenggelamkan wajahnya di rambutku. Beberapa detik aku terdiam mematung seakan mencoba menerjemahkan situasi ini, hingga aku tersadar dan berusaha melepas pelukannya.

Namun Mingyu menahannya.

"Kumohon sebentar saja." Lirihnya. Nada suaranya sedikit bergetar dan terdengar seperti orang yang frustasi. Aku semakin tidak mengerti dengan situasi ini. Aku ingin sekali bertanya namun kurasa ini bukan saat yang tepat.

"Terimakasih." Mingyu menggumam setelah merasakan aku tidak lagi mencoba melepaskan diri. Padahal aku tidak bermaksud menyerah. Aku diam karena berpikir.

Namun aku membiarkan Mingyu mengeratkan pelukannya dan makin menenggelamkan wajahnya di rambutku. Beberapa detik berlalu dalam keheningan hingga telingaku mendengar nafas berat Mingyu, nafas berat dengan suara yang sedikit bergetar khas seseorang yang sedang menangis.

Dia menangis dalam diam. Aku tahu itu. Dan satu hal lagi yang aku tahu, air mata seorang pria adalah kejujuran. Entah apapun masalahnya, Mingyu sedang menghadapi waktu yang sulit. Otakku seakan memerintahkan tanganku untuk bergerak menepuk-nepuk punggungnya.

Hanya beberapa detik karena setelah itu dia melepaskan pelukannya dan menatap tepat pada mataku. Ada sedikit jejak basah di salah satu sudut matanya.

"Bukankah kau membenciku?" ucapnya, nada bicaranya terdengar lebih dalam. Efek menangis?

"Memang."

The Troublemakers (bts & svt & nct)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang