Good friend

140 5 0
                                    


Good friend yang ini beda sama good friend yang itu!

Happy reading!!

"Maaf,"

Satu kata terucap dari bibir Dinda di sela tangisnya.

"Sttt.....jangan bilang gitu, loe nggak salah Din." Dylan melepaskan pelukannya lalu memandang lekat wajah Dinda.

"Tapi, gue udah nuduh loe yang nggak-nggak waktu itu. Gue nggak percaya sama loe dan bahkan gue-"

"Udah Din. Gue nggak papa kok. Emang wajar waktu itu loe marah sama gue. Gue udah gebukin pacar loe yang loe sayang. Mungkin kalau gue jadi loe gue juga akan ngelakuin hal yang sama, atau lebih malah. Gue bunuh aja pake pistol atau kasih racun misalnya."

Dylan tiba-tiba merubah mimik wajahnya menjadi menyeramkan. Dinda menjadi gemetaran.

"Se-serius loe?" Dinda bertanya terbata-bata.

Dylan terus menatap tajam mata Dinda membuatnya semakin ketakutan.

"Hahaha, ya nggak lah. Emangnya gue psikopat? Sumpah Din muka loe itu lucu parah kalau lagi panik gini," Dylan mencubit ujung hidung Dinda gemas.

"Ih, iseng banget sih loe. Gue pikir tadi beneran. Nyeremin banget muka loe Dy, mirip sama yang di film-film." Kata Dinda kesal. Sesaat kemudian bibirnya membentuk suatu senyuman.

"Gitu dong senyum, kan cantik."

Pipi Dinda merona mendengar ucapan Dylan yang spontan namun sekaligus membuat jantungnya kembali berdetak kencang.

"Din, kita bisa jadi teman baik kan?" tanya Dylan membuat Dinda terkejut.

Teman, mengapa kata itu membuat Dinda kecewa? Bukankah seharusnya dia senang sudah baikan dengan Dylan?

"Selama ini kan gue udah sering banget bikin loe susah dan sedih, gue ingin memperbaikinya. Gue bakal ngembaliin senyum loe yang sempat hilang gara-gara gue. Untuk itu, gue mau kita jadi teman baik. Bisa kan?"

Dylan sebenarnya tidak ingin hanya sekedar menjadi teman Dinda, dia menginginkan lebih. Karena jelas bahwa dia sangat menyayangi gadis yang ada di depannya itu. Gadis yang telah mengubahnya menjadi seorang yang lebih baik. Namun keinginannya itu harus ia pendam dulu. Sangat tidak tepat jika dia menembak Dinda bahkan belum sehari gadisnya itu putus.

Dinda sadar bahwa Dylan punya Clara. Jadi dia harus cukup sadar diri untuk tidak berharap lebih pada Dylan. Ia juga malu pada Dylan karena sudah menuduh Dylan berbuat jahat pada Randy, mantan pacarnya yang brengsek itu. Justru karena Dylan ingin melindunginya, bahkan dia rela mengorbankan dirinya. Dinda sungguh menyesal akan hal itu.

"Gimana? kita bisa kan jadi teman baik?" Dylan kembali menanyakan

Dinda menghela nafasnya berat.

"Oke, gue janji kita bakal jadi teman yang baik." Dinda tersenyum meskipun hatinya kecewa.

Dylan senang sekali bahkan meskipun Dinda hanya menjadi temannya. Apalagi jadi pacarnya ya? Setidaknya dia bisa dekat dengan Dinda sekaligus melindungi gadisnya itu.

"Sip, makasih ya Din. Mulai besok kalau berangkat dan pulang sekolah gue antar jemput. Terus kalau pas istirahat kita bareng-bareng ke kantin ya sama temen-temen gue juga dan-"

"Clara?"

Dylan mengangguk. "Iya."

"Tapi gue boleh minta satu hal nggak Dy?"

"Ngomong aja, loe minta apa Din?"

"Gue minta Nindi juga ikut gabung ya, soalnya dia sahabat gue sejak SMP."

"Itu doang? Ya boleh lah, makin banyak teman makin bagus kan?"

Dinda lega. Ia tersenyum senang mendengarnya.

"Eh, loe nggak balik ke sekolah nih? Masih ada jam kok," tanya Dylan sambil melihat ke arah jam tangannya.

Dinda menggeleng.

"Nggak ah Dy. Gue pengen pulang aja, masih nggak mau liat mukanya si Randy itu. Loe kalau mau balik, balik aja gih. Ntar dihukum loe sama Pak Broto."

"Kalau dihukumnya bareng loe kayak dulu sih gue mau," Dylan tersipu malu dan menggaruk belakang kepalanya.

Dinda pun tertawa. "Hahaha, masih inget aja loe. Waktu itu loe masih nyebelin banget tau Dy."

"Kalau sekarang? Nggemesin banget kan?" Goda Dylan sambil memasang wajah imut. Dia tersenyum manis dan mengedip-kedipkan matanya itu.

"Pede loe, muka loe nggak cocok di imut-imutin kaya cewek gitu. Kan loe ganteng," Tak sadar Dinda mengucapkan kata itu. Segera ia menutup mulutnya. Sangat malu pasti.

Dylan tersenyum. "Apa loe bilang tadi? Gue- ganteng?" Goda Dylan sambil menaik turunkan alisnya yang tebal itu.

Dinda benar-benar malu. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa Dylan itu ganteng, walaupun kenyataannya memang benar dan hal itu di ucapkan di depan orangnya juga.

"Udah nggak usah malu gitu deh," Dylan masih saja menggodanya. Sejurus kemudian, Dinda mengucapkan kalimat.

"Kan gue bener? Loe kan cowok ya kali loe cantik?" Dinda berusaha mencari alasan yang logis.

"Oke-oke. Iyain aja daripada gue liatin ekspresi muka loe yang lucu itu nahan malu." Dylan mengacak rambut Dinda.

Mereka berdua menghabiskan waktu di taman itu. Banyak yang mereka bicarakan. Dari yang penting sampai hal yang sama sekali nggak penting. Dylan berusaha menghibur Dinda yang sebelumnya terlihat kalut.

Tanpa sadar bahwa langit di atas mulai mendung. Awan pun menghitam. Suara guruh bersahutan. Tanda akan turun hujan.

"Dy, kayaknya mau turun hujan deh. Pulang yuk," Pinta Dinda sambil menatap langit yang menghitam.

Dylan melihat ke atas, dia membenarkan ucapan Dinda. Dia tidak ingin nanti Dinda jatuh sakit terkena hujan.

"Yaudah, yuk pulang."

Belum sampai mereka sampai mobil, hujan pun mulai turun membasahi bumi. Juga tubuh dua insan yang saling menyayangi namun tidak bisa mengungkapkan perasaannya masing-masing.

Mereka berlari kencang namun hujan semakin deras.

"Kok berhenti Din? Hujan nih loh, ntar sakit. Buru sini ke mobil." Ajak Dylan.

Dinda menggeleng. "Nggak mau. Udah terlanjur basah. Gue mau nikmatin hujan ini. Udah lama gue nggak mainan hujan ini." Tolak Dinda. Dia malah memutar-mutarkan tubuhnya dan merentangkan tangannya menikmati guyuran air hujan di wajahnya.

Dylan yang melihat tingkah Dinda itupun mendekat ke arah Dinda. Ia membiarkan tubuhnya yang basah terkena hujan. Mengikuti apa yang Dinda lakukan.

"Loe ngapain main hujan kaya gini?" Tanya Dylan yang kini di samping Dinda. Dinda membuka matanya. Melirik ke arah Dylan lalu tersenyum.

"Gue seneng, waktu kecil gue sering main gini sama ayah. Gue kangen sama ayah." Dinda kembali melakukan aksinya seperti tadi.

"Kalau gitu gue temenin ya."

"Boleh, tapi loe nggak takut sakit?"

"Asal sama loe gue nggak masalah."

Dinda kembali membuka matanya. Dinda menarik tangan Dylan. Diajaknya berputar. Mereka tertawa bersama. Melupakan kejadian buruk di masa lalu. Dan akan membuka lembaran baru sebagai "teman". Ya, teman karena waktu yang belum tepat. Setidaknya mereka cukup bahagia, saat ini.

Alhamdulillah, selesai menulis part ini. Gimana menurut kalian?

Semoga feelnya dapat ya.....

Jangan lupa vote dan comment serta tambahkan cerita ini di reading list kalian.

Terima kasih sudah membaca.










Because of You [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang