"Aku nggak tahu kenapa? Kalau dekat kamu aku ngerasa nyaman aja"
--Adinda Putri--
"Dinda!" Panggil Dylan saat hendak pulang sekolah.
Tidak ada sahutan dari Dinda.
"Din," Panggil Dylan lagi.
Dinda tetap membisu dan tanpa menoleh Ia terus bejalan.
"Din, loe denger gue nggak sih?"
Dinda masih dengan pendiriannya untuk tidak bicara dengan Dylan.
"Din, loe kenapa sih? Marah sama gue?" Tanyanya sambil mengikuti Dinda dari belakang. Yang ditanyai tetap membisu.
"Ikut gue!" Kata Dylan sambil menarik lengan Dinda.
"Lepasin gue!" Kata Dinda sambil berusaha melepaskan tangan Dylan. Tapi usahanya nihil, cengkeraman tangan Dylan terlalu kuat.
"Loe mau bawa gue kemana? Gue nggak mau ikut loe, gue mau pulang!" Teriak Dinda.
Dinda dibawa Dylan ke ruang ekskul musik, disana sudah tidak ada seorang pun, dan memang kebanyakan siswa sudah pulang. Hanya beberapa orang saja yang masih di sekolah.
"Lepasin tangan gue! Sakit tau!"
Dylan melepaskan lengan Dinda dari cengkeraman tangannya. Dinda mengusap-usap tangannya yang memerah. Ia meringis kesakitan.
"Sorry, sebenernya gue nggak mau bikin loe kesakitan gitu, tapi loe yang maksa gue buat ngelakuin ini. Gue mau nanya sesuatu sama loe."
Dinda memicingkan matanya dan memalingkan pandangannya dari Dylan.
"Din, loe marah sama gue ya?"
"Tiap hari gue juga marah sama loe Dy, tapi loe nggak pernah peduli, loe nyuruh-nyuruh gue seenak jidat loe ini itu sampai gue nggak bisa ngatur hidup gue sendiri, gue capek Dy,gue jadi tertekan dan nggak bisa nikmatin hidup gue sendiri. Sampai gue juga harus dimusuhi teman-teman gue gara-gara mereka pikir gue dekitin loe,eh..." Dinda menutup kedua mulutnya atas kata-katanya yang terakhir.
"Apa? Loe dimusuhin temen-temen loe gara-gara gue?"
"Nggak, lupain aja!"
"Maafin gue ya Din, gue nggak nyangka loe jadi menderita gini gara-gara gue, gue janji bakal balikin surat loe."
Dinda hanya terdiam mendengar ucapan maaf dari Dylan. Dia masih tidak percaya cowok yang dikenalnya angkuh, sombong dan galak itu mengucapkan permintaan maaf padanya.
"Loe masih nggak percaya sama gue Din? Oke gue bakal buktiin sama loe, besok surat loe bakal gue balikin, kalau sekarang suratnya ada di loker gue. Oh ya, gue juga nggak bakal gangguin loe lagi jadi loe bisa lanjutin hidup loe dengan tenang." Ucapnya lagi. Dinda menatap lekat mata Dylan, ada ketulusan disana.
Gue nggak boleh terlena sama ucapan Dylan, pasti itu bisa-bisanya dia aja biar gue maafin dia, terus gue jadi bulan-bulanannya dia lagi, ogah!
"Buktiin aja, gue baru bisa percaya sama loe kalau surat itu udah ada ditangan gue."
"Ok, tapi loe mau kan maafin gue?"
"Gue mau maafin loe asal....."
Belum sampai Dinda meneruskan kata-katanya tiba-tibar terdengar suara.
Klek, klek
Pintu ruangan itu dikunci seseorang dari luar. Dinda dan Dylan refleks berlari ke arah pintu itu. Mereka mencoba menarik ganggang pintu tersebut tapi usaha mereka nihil.
"Woy, siapa diluar? Bukain dong, kita terkunci disini. Woy siapa aja tolong bukain!" Kata Dylan sambil menggedor-gedor pintu.
Tidak ada sahutan dari seseorang.
"Gimana nih? kita kekunci disini," Dinda mulai khawatir.
"Tenang dulu Din, jangan panik, gue coba telfon pak Mamat, tukang kebun dulu ya, loe tenang Din," kata Dylan mencoba menenangkan kepanikan Dinda.
"Sial! Batere gue low-bat lagi, nggak pas banget deh!"
"Gimana nih? gue takut Dy!" Dinda mulai terisak dan mulai meneteskan butiran air matanya.
"Loe tenang dulu ya Din, jangan nangis, kita pasti bisa keluar dari sini," kata Dylan sambil meletakkan kedua tangannya ke bahu Dinda.
"Tapi gue takut Dy, gue nggak suka gelap."
Dinda memiliki phobia terhadap kegelapan. Waktu kecil Dinda pernah ditinggal ibunya pergi ke rumah saudara bersama ayahnya. Dia dirumah hanya dengan kakak laki-lakinya yang saat ini masih kuliah semester 5, Alan. Alan meninggalkan Dinda yang tertidur pulas untuk membeli makanan diluar. Alan tak tega membangunkan adik kecilnya itu. Tanpa diketahui Alan saat itu ada pemadaman listrik yang menyebabkan lampu rumah mereka padam. Dinda terbangun dari tidurnya dan mendapati sekelilingny gelap. Dinda ketakutan dan menangis sejad Sejak saat itulah dia phobia dengan kegelapan.
"Gue takut gelap Dy, gue nggak mau disini, gue mau pulang!" Dinda menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan kembali menangis.
Melihat Dinda semakin panik dan khawatir, Dylan menarik tubuh Dinda dan merangkulnya dalam pelukannya.
"Maafin gue, Din. Lagi-lagi gue bikin loe susah. Gue janji bakal keluarin loe dari sini, loe tenang ya, jangan nangis, jangan takut , ada gue disini yang bakal jagain loe."
Dinda tidak bisa berbicara satu kata pun. Tapi di pelukan Dylan, Dinda merasakan suatu kenyamanan yang mungkin tidak sebanding dengan ketakutannya saat itu, tapi yang pasti hatinya sedikit terasa lebih tenang.
Dylan mendengar ada langkah kaki yang mendekat ke arah ruangan musik itu. Dylan melepaskan pelukannya dengan Dinda. Ia menarik tangan Dinda untuk mendekat ke arah pintu. Dilihatnya Pak Mamat, tukang kebun SMA Permata sekaligus pemegang kunci ruangan di sekolah. Senyum terkembang di wajah Dylan.
"Itu pak Mamat, Din. Kita bisa keluar dari sini."
"Pak Mamat, Pak.... kita terkunci di sini, tolong bukain pak," teriak Dylan sambil menggedor-gedor pintunya.
"Eh, den Dylan. Masih ada orang tho? Lho ini dikunci? Perasaan bapak belum ngunci ruangan ini, den. Sebentar bapak bukain dulu ya."
Akhirnya Dylan dan Dinda bisa keluar dari ruangan gelap itu. Dinda menghela nafasnya panjang dan mengeluarkannya perlahan. Ia merasa sangat lega.
"Jadi tadi yang ngunci bukan pak Mamat ?"
"Setahu bapak belum den, ini bapak kesini mau ngunci ruangan ini. Tapi mungkin pak Mamat lupa den, Maklum pak Mamat sudah tua, sering pikun. Maafin saya ya den."
"Nggak papa pak. Yaudah saya pulang dulu ya pak. Din, yuk gue anterin pulang."
"Gu...gue... naik angkot aja deh."
"Nungguin angkot jam segini sama aja nungguin para koruptor tobat, sia-sia. Udah deh gue anterin. loe nggak boleh nolak."
"Tapi...."
Dylan menarik tangan Dinda dan menggenggam tangannya. Dinda menjadi salah tingkah. Sesekali dilihatnya wajah Dylan yang tampan itu. Hatinya mendadak sesak. Ada perasaan aneh.
"Naik Din, untung hari ini gue bawa motor, masih trauma gue sama muntahan loe, Din."
Dinda mengingat saat dia dan Dylan naik mobil dengan kecepatan tinggi tempo hari. Ia juga ingat saat itu dia merasa mual lalu muntah. Ia menunduk malu.
"Udah, jangan manyun gitu, canda gue, Yok naik."
Dinda naik ke motor Dylan membonceng di belakang. Ada perasaan senang campur aneh dia bisa sedekat itu dengan Dylan. Biasanya saat dengan Dylan Ia selalu uring-uringan dan jengkel. Tapi berbeda dengan saat itu. Ada suatu kenyamanan berada di dekat Dylan.
Selesai juga part ini, semoga kalian senang dengan ceritaku ini. Maaf jika masih banyak typo dimana-mana. Oh ya jika mau memberi saran juga boleh banget kok, aku tunggu ya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of You [On Going]
Genç Kurgu[Belum revisi] Pernahkah kamu suka sama seseorang tapi jatuh cinta dan berakhir sama orang lain? Berawal dari ketidaksengajaan membawa Adinda Putri, siswa kelas X pada cinta sejatinya. Ikuti kisahnya.