7 | Joohyun : The Ghost.

78 15 2
                                    

Sepanjang hidupku sebagai penyihir, baru kali ini aku benar-benar terjun langsung menangani suatu kasus.

Sejak aku menunjukkan tanda-tanda memiliki bakat sihir, ayahku mencegahku untuk terlalu sering keluar rumah. Akibatnya, aku jadi jarang bergaul, dan aku nyaris tidak memiliki teman kecuali tetanggaku sewaktu di London dulu yang bahkan tidak aku ketahui dimana rimbanya saat ini. Satu-satunya teman bermainku adalah Jongwoon, makanya aku sangat dekat dengannya sampai saat ini.

Ayahku terlalu takut ada sesuatu yang buruk terjadi padaku gara-gara bakat sihir yang aku miliki. Menurut nenekku, dia terlalu takut kehilanganku saja karena dia sudah cukup menderita dengan kehilangan ibuku. Dan lagi, ayah sama sekali tidak punya bakat sihir, jadi dia tidak tahu bagaimana cara untuk membantuku mengendalikan kekuatanku.

Untungnya, sampai aku berumur sepuluh tahun, aku masih mempunyai nenek yang dengan setia membimbingku sampai aku betul-betul menguasai kekuatanku. Nenek meninggal saat aku berumur sebelas tahun, jadi setelah itu, aku ikut pelatihan khusus yang diadakan perkumpulan penyihir se-Inggris Raya setiap lima tahun sekali. Pelatihan itu diadakan dua tahun lamanya, dan harus aku akui, hasilnya cukup memuaskan.

Aku sudah tidak sabar untuk memamerkan kemampuanku yang semakin meningkat ini kepada Jongwoon.

"Jangan melamun dan bantu aku memasukkan besi-besi berat ini ke bagasi." ujar Jongwoon, membuatku yang sebelumnya tengah asyik melamun merengut kesal.

"Buat apa sih kita bawa pedang-pedang besi itu? Toh, katamu kita mau mewawancarai hantu, bukan mengusirnya. Lagipula kita kan punya athame yang sekarang dipegang si pemburu hantu itu, jadi buat apa?" aku menggerutu sambil berjalan mendekati Jongwoon.

Hanya dengan sekali ayunan tangan, aku mengarahkan pedang-pedang besi itu ke bagasi, membuat Jongwoon membulatkan matanya lebar-lebar. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman bangga.

"Apa-apaan?" tanyanya.

"Jawab dulu pertanyaanku yang tadi." aku melipat kedua tanganku. "Kenapa kamu bersikap paranoid banget? Kita cuman mau mewawancarai hantu, kakakku sayang. Bukannya mau perang. Kenapa kamu membawa nyaris semua persediaan garam batu dan lilin lavendel segala?"

Jongwoon menghela napasnya kemudian menjawab, "Aku cuman...takut. Firasatku mengatakan kalau kasus ini berhubungan dengan ramalan itu."

Melihat Jongwoon berkata dengan begitu seriusnya, aku mengurungkan niat untuk marah-marah pada kakak sepupuku itu. Jujur, aku benar-benar lupa ramalan yang dimaksud Jongwoon. Aku ingat dia pernah beberapa kali menceritakan ramalannya lewat telepon sewaktu aku di Inggris sana, tapi aku sama sekali tidak ingat tentang ramalan yang dia maksud saat ini.

"Ramalan yang mana, sih?" tanyaku.

Sebelum Jongwoon sempat menjawab pertanyaanku, Yoongi datang dari dalam toko dengan membawa satu kantung plastik besar-yang setahuku, berisi bahan-bahan untuk ritual pemanggilan arwah.

Dasar, perusak suasana saja.

Sebenarnya aku cukup terpana melihat cowok itu sewaktu kami pertama kali bertemu. Ada sesuatu yang menarik dari dirinya. Tapi, begitu Jongwoon bercerita kalau dia memberikan athame kepada si pemburu hantu itu terkait ramalan yang diterimanya, aku jadi agak jengkel. Maksudku, itu kan benda warisan keluarga. Seharusnya aku yang memegangnya, kan?

"Ayo kita berangkat." ujarnya, sambil berjalan menuju bagasi. Langkahnya sedikit terpincang-pincang, aku bisa melihat dengan jelas kaki kanannya yang menumpu badannya sementara dia agak menyeret kaki kirinya, sekalipun tidak terlalu kelihatan.

The FrightenersWhere stories live. Discover now