"Terima kasih banyak, Min Yoongi-ssi." ujar wanita paruh baya itu. Tangannya yang dingin menggenggam kedua tanganku denga begitu erat.
Aku tersenyum simpul. "Sama-sama, sudah jadi tugasku. Beritahu aku kalau sesuatu terjadi, ya?"
Wanita itu mengangguk, matanya yang masih sembap karena terlalu banyak menangis itu menatapku. Sekilas, aku bisa melihat raut kelegaan di wajahnya. Barangkali dia lega karena kini arwah anaknya bisa beristirahat dengan tenang.
"Tentu, tolong jangan bosan jika aku meneleponmu." katanya, diiringi dengan sebuah tawa kecil yang garing.
"Tidak akan." aku kembali menunjukkan senyum simpul andalanku. "Kalau begitu, aku permisi dulu."
Akhirnya, tepat pukul setengah lima sore, aku meninggalkan rumah Seyoung.
Setelah memberi sedikit pengarahan kepada ibunya Seyoung kalau-kalau arwah anaknya muncul lagi, dan setelah aku berkeliling rumah sebanyak tiga kali untuk memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan arwahnya, aku baru benar-benar pergi. Sebenarnya sih, aku tidak tega meninggalkan ibunya Seyoung sendirian seperti itu—aku tahu betul bagaimana perasaannya. Hatinya pasti hancur banget melihat anaknya menjadi hantu sementara suaminya yang brengsek masih berkeliaran diluar sana, tidak ketahuan dimana rimbanya.
Tapi, aku juga tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa berharap semoga wanita paruh baya itu dapat bertahan menjalani semua cobaan hidupnya.
Aku tahu kalian pasti penasaran kenapa aku melakukan pekerjaan ini.
Biar kuceritakan sedikit sejarahku. Tiga tahun yang lalu, aku selamat dari sebuah kecelakaan hebat yang seharusnya merenggut nyawaku. Orang-orang disekitarku bilang itu sebuah mukjizat dari Tuhan, aku malah menganggapnya sebagai sebuah kutukan.
Selama satu tahun setelah kecelakaan—dan setelah terbangun dari koma selama dua minggu—, aku harus bertahan dengan kursi roda. Dua bulan setelahnya, aku berjuang mati-matian untuk dapat berjalan menggunakan kruk. Sisanya, aku harus menerima kenyataan untuk menjadi seorang pria yang hanya mampu berjalan dengan agak pincang sepanjang hidupku.
Benar-benar bukan sebuah mukjizat yang dapat kunikmati.
Aku kehilangan segalanya—reputasiku, orang-orang yang aku sayangi, kehidupan lamaku, bahkan kemampuan berjalan dengan normalku.
Sungguh, aku nyaris putus asa. Hidupku benar-benar kacau.
Ditambah lagi, setelah kecelakaan, aku bisa melihat hantu. Aku menghabiskan beberapa bulan pasca kecelakaan dengan mengurung diri di rumahku, karena suara-suara hantu itu terus menggangguku siang dan malam. Mereka ada di mana-mana, dan untuk kabur—atau setidaknya, bersembunyi—dari mereka menggunakan kursi roda saat itu benar-benar sebuah hal yang luar biasa merepotkan.
Akhirnya, pada suatu hari ketika aku tengah mencoba berjalan-jalan menggunakan kruk, aku bertemu dengan Kim Jongwoon, seorang pria berpenampilan nyentrik yang memiliki sebuah toko kelontong yang menjual beragam peralatan sihir.
Iya, sihir. Kalian tidak salah baca, kok.
Dengan rasa bingung, penasaran bercampur skeptis, aku mampir ke toko tersebut dan langsung disambut oleh sebuah jilatan di tanganku dari seekor anjing golden retriever yang tengah berdiri di dekat pintu. Berbagai macam benda yang terlihat normal menjadi hal pertama yang aku lihat di tempat itu ; ada sisir, cermin bergagang dengan ukiran bunga-bunga, mug keramik, hiasan meja porselen dan benda-benda lainnya. Aku kira aku bakal menemukan tongkat sihir seperti milik Harry Potter atau semacamnya, tapi ternyata tidak.
Kim Jongwoon yang saat itu tengah duduk di belakang kursi kasir menyambutku dengan sebuah tatapan terkejut. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu, dia langsung menggenggam kedua tanganku, menatap mataku dalam-dalam kemudian berkata ;
"Kamu punya bakat."
Tiga kata itu yang membawaku sampai menjadi seperti ini. Singkat cerita, setelah melalui perdebatan yang cukup melelahkan dan pertimbangan yang matang, aku memutuskan untuk 'berguru' kepada Jongwoon dan disinilah aku sekarang, menjadi seorang pemburu hantu yang katanya paling disegani di kota ini.
Kedengarannya cukup keren, ya?
Secara tidak langsung, Jongwoon menyelamatkan nyawaku, dan aku berhutang banyak padanya. Kalau aku tidak bertemu dengannya waktu itu, aku pasti sudah mati bunuh diri.
Maka dari itu, setiap aku menyelesaikan suatu kasus, aku pasti menyempatkan diri untuk mampir ke toko yang sekaligus merangkap sebagai rumahnya, hanya untuk sekedar menyapanya dan bertukar cerita.
Seperti saat ini.
Sepulang dari rumah Seyoung, aku mengarahkan mobilku menuju toko milik Jongwoon yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Toko masih buka ketika aku memarkirkan mobilku di halamannya, jadi itu artinya Jongwoon masih berjaga di belakang meja kasir. Aku meraih tas ransel coklat tua yang sudah lusuh milikku, menggendongnya, kemudian mengunci pintu mobil.
Gonggongan Bugsy bahkan sudah terdengar sebelum aku masuk kedalam toko. Benar saja, ketika aku membuka pintu, anjing itu menyambutku dengan riang.
"Senang bertemu denganmu juga, Bug." kataku, sambil mengusap-usap kepalanya.
"Yoongi!" seru Jongwoon dari balik meja kasir. Kepalanya melongok untuk melihatku yang masih berdiri di ambang pintu, batang rokok yang masih berasap bertengger di mulutnya. "Selesai satu kasus lagi hari ini?"
"Yup." aku berjalan melewati rak barang-barang dagangan Jongwoon kemudian berhenti di depan meja kasir.
Jongwoon menatapku dari atas sampai bawah, seperti yang biasa dia lakukan, menghisap rokoknya kemudian berkata, "Kamu kelihatan berantakan."
Aku mendengus menanggapinya. "Biasanya juga begitu."
"Kalau kamu mau cepat-cepat dapat pacar, kamu harus mulai merapikan diri." lanjutnya. "Apa aku perlu mengantarmu ke salon?"
Kali ini aku tertawa mengejek kemudian menyimpan ranselku yang ringan diatas meja.
"Aku nggak akan mau pergi ke salon kecuali ada hantu yang berulah disana." kataku. "Omong-omong, aku mau pasokan amunisi baru, dong."
Jongwoon turun dari kursinya, membuka ranselku kemudian melongok untuk melihat isinya.
"Good god... Perasaan baru kemarin aku memberimu amunisi." ujarnya. "Kemana perginya mereka?"
"Well, aku kasih semua sisa lilin lavendel yang aku punya ke klienku hari ini, aku juga menebar semua air rendaman kembang yang kamu kasih ke sekeliling rumahnya untuk proteksi dan peluru garam batu punyaku sudah habis sejak minggu kemarin." jawabku, sementara Jongwoon melangkah menuju rak besar di samping meja kasir. Rak itu berisi persediaan khusus yang bisanya dibutuhkan para pemburu hantu sepertiku, dan Jongwoon terkenal memiliki banyak sekali stok di tokonya. Karena itulah tempat ini selalu buka setiap hari. Sekalipun toko milik Jongwoon terlihat menyeramkan dari luar, toko ini selalu dikunjungi oleh setidaknya satu atau dua pemburu hantu dari berbagai penjuru setiap harinya.
"Kamu mau air suci juga nggak?" tanya Jongwoon, saat dia tengah sibuk mencari barang-barang yang aku minta di rak.
Aku menggeleng pelan. "Nggak deh, kayaknya aku masih punya banyak di rumah."
"Buat jaga-jaga." kata Jongwoon lagi. "Kita nggak tahu kapan itu bakal dibutuhkan, kan?"
"Iya sih." aku menguap lebar-lebar setelah itu. Ya ampun, rasanya mataku berat banget.
Jongwoon membawa satu kantung plastik penuh berisi barang-barang permintaanku kemudian menyimpannya di samping ranselku. Matanya yang dihiasi bingkai kacamata yang sebenarnya tidak minus itu menatapku tajam.
"Tetap waspada, Yoongi. Ancaman bisa datang kapan saja. Kamu ingat ramalannya, kan?"
Aku menghela napasku panjang kemudian mengangguk. Ya, mana mungkin aku lupa ramalan itu, ramalan sialan yang membuatku jadi paranoid setiap harinya.
"Tentu, aku bakal berhati-hati, hyung." kataku, sambil memasukkan barang-barang pesananku kedalam ransel.
"Aku sudah pernah mati sekali, ingat?"
YOU ARE READING
The Frighteners
Fiksi PenggemarMin Yoongi adalah seorang pemburu hantu. Bae Joohyun adalah seorang penyihir. Roda takdir mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak terduga. Serangkaian pembunuhan misterius disertai dengan kemunculan penampakan-penampakan hantu membuat Yoongi d...