"Wow, aku pasti lagi beruntung hari ini."
Lee Jongdae menatapku dengan sinis. Matanya yang menyalak masih berhasil membuatku merinding, padahal, ini bukan pertama kali aku bertemu dengannya.
"Ada maksud apa dibalik kedatanganmu yang tiba-tiba begini, Tuan Min?"
"Ini tempat umum, Jongdae. Aku rasa semua orang berhak datang kesini." balasku, sedikit berbisik agar tidak terdengar pengunjung yang lain. Lagipula, ini perpustakaan. Sekalipun aku berada di rak paling belakang, aku tidak boleh berisik, kan?
"Tapi mereka tidak mendatangiku secara langsung. Mereka semua kecuali kamu. Jadi, ya, wajar kan kalau aku bertanya?"
Sialan. Dasar hantu sarkastis.
"Dengar, aku tahu kamu masih kesal dengan kejadian beberapa bulan yang lalu." ujarku, membuat raut wajah Jongdae yang sekarang sepucat kertas itu menjadi lebih jengkel. Aku maklum, aku sendiri masih merasa bersalah atas apa yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Saat itu, aku memang tengah berburu sebuah poltergeist yang sempat meresahkan sebuah kedai makanan yang kebetulan letaknya tidak jauh dari sini. Ketika aku melewati perpustakaan, aku melihat Jongdae tengah berjalan menuju kedai makanan itu dan langsung mengira bahwa dialah poltergeist-nya.
Salah paham biasa, sebenarnya. Aku nyaris menebas Jongdae dengan athame dan mengirimkannya ke alam lain. Kalau saja kami tidak berkelahi sedikit dan berdebat dulu, Jongdae pasti sudah menghilang dari muka bumi ini.
"Tapi Jongdae, ini masalah yang serius. Nasib kota ini dipertaruhkan disini." lanjutku.
"Well, asal kamu tahu saja, itu bukan urusanku." balas hantu itu. "Aku toh, sudah mati."
"Aku tahu." kataku cepat. "Tapi kumohon, aku butuh bantuanmu."
Jongdae menyipitkan matanya, menatapku dari atas sampai bawah, melakukannya sebanyak dua kali, kemudian bertanya;
"Kamu sedang tidak kerasukan sesuatu, kan? Aku agak sulit membedakannya karena auramu tertutup oleh si belati magis itu."
"Tidak, dan aku serius." jawabku cepat.
Lee Jongdae menghela napasnya—atau, kelihatannya begitu, karena secara teknis paru-parunya sudah tidak berfungsi lagi dan dia tidak butuh oksigen—, mendecakkan lidahnya sebelum akhirnya berkata lagi.
"Kota ini kota kelahiranku, biarpun aku sudah mati aku cukup jengkel mengetahui ada yang berani macam-macam dengan kota ini. Lagipula, aku tahu kamu tidak sedang main-main."
"Memang tidak."
"Jadi, apa yang bisa kubantu?" Jongdae bertanya, kali ini kedua tangannya terlipat didepan dada, tatapannya sangat serius.
Aku menghela napasku lega. Aku tahu dia bisa diandalkan.
"Seminggu belakangan ini aku mengejar sebuah roh jahat yang membunuh orang-orang tertentu secara berantai." ucapku, dan Jongdae terlihat mendengarkan dengan antusias. "Roh ini beda dari yang lain. Dia kuat banget. Dan dia nggak sendirian, ada seorang penyihir yang membantunya menjalankan misinya."
"Penyihir? Di kota ini?" tanyanya, matanya membelalak. Kalau aku ada di posisinya pun, aku pasti akan sama terkejutnya.
"Yup, dan dia juga sama kuatnya." jawabku. "Nah, yang mau kutanyakan padamu itu, apa kamu merasa ada perubahan energi disekitarmu selama seminggu ini? Atau apapun yang menurutmu aneh?"
Sebagai arwah yang sudah berkeliaran disekitar sini dalam waktu yang cukup lama, aku yakin Jongdae tahu sesuatu.
"Sebenarnya..." saat ini, setiap kata yang keluar dari mulut Jongdae terasa sangat mendebarkan. "Aku merasa agak aneh belakangan ini. Energi di kota ini semakin hari semakin berat, kamu tahu? Pergerakanku juga jadi lebih lamban daripada biasanya, dan itu nggak wajar."
"Terlebih lagi, belakangan ini juga aku sering melihat sepasukan arwah-arwah gentayangan yang hilir mudik melewati perpustakaan. Itu hal wajar sebenarnya, tapi kalau sudah sampai satu pasukan begitu, rasanya aneh juga."
"Berapa banyak yang sering kamu lihat?" tanyaku tidak sabaran. Firasatku mengatakan apa yang bakal Jongdae katakan selanjutnya bukanlah sesuatu yang bagus.
"Sekitar... sepuluh sampai lima belas arwah yang hilir mudik."
Sial. Aku benar.
Berdasarkan apa yang Jongdae katakan barusan, aku bisa menarik kesimpulan bahwa si penyihir hitam telah melepaskan sebuah energi buruk di kota ini, dan layaknya sebuah medan magnet, energi buruk itu menarik para arwah kemari.
Perkiraanku, semoga saja aku salah, arwah yang datang akan semakin banyak seiring dengan persiapan si penyihir hitam yang semakin lengkap. Itu sebabnya mengapa belakangan ini permintaan kasusku menjadi lebih banyak. Itu sebabnya mengapa jumlah poltergeist yang berkeliaran di kota ini semakin membludak.
Dan kalau aku tidak menghentikannya secepat mungkin, hal ini akan menjadi lebih tidak terkendali.
"Oh, sial." desis Jongdae, membuatku tertarik kembali ke realita.
"Apa?"
"Aku rasa ada yang datang. Diatas."
Saat itu juga, aku langsung teringat Joohyun.
Aku buru-buru melangkahkan kakiku menuju lantai atas tanpa menghiraukan Jongdae yang memanggil-manggil namaku dari belakang. Perasaanku semakin tidak enak seiring dengan anak tangga yang aku naiki. Tanpa perlu menyembunyikannya lagi, aku mengeluarkan athame dari saku jaketku kemudian menggenggamnya erat-erat, dan ketika aku berhasil mencapai lantai dua, aku mengedarkan pandanganku untuk mencari Joohyun.
Tidak perlu repot-repot, sebenarnya, karena diujung sana, di rak paling belakang di ruangan ini, aku dapat melihat dengan jelas hawa hitam bergumul disana, seperti sebuah asap yang pekat, seakan-akan ada yang terbakar.
Tanpa menghiraukan rasa sakit di kakiku akibat berjalan terlalu cepat, aku berlari menuju rak paling belakang kemudian mendapati Joohyun tengah berdiri mematung, kedua tangannya mengepal, sementara si hantu hitam besar berdiri tinggi menjulang dihadapannya.
"Joohyun!" seruku, bergegas menempatkan diriku sendiri dihadapan Joohyun, menjadikanku sebagai tamengnya.
"Wah, lihat siapa yang datang." kata si hantu hitam besar itu, suaranya yang serak dan berat bergema ditelingaku. "Apa kamu benar-benar berpikir kamu bisa melawanku, Min Yoongi?"
"Tentu." balasku, dan aku sepertinya berhasil membuat suaraku menjadi terkesan dingin dan tegas. "Akan kulakukan apapun untuk menyingkirkanmu."
"Jangan tersinggung, tapi kamu nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatanku."
Oh, aku paling benci tipe hantu yang sombong macam dia ini.
"Jangan tersinggung, tapi kamu nggak lebih dari sekedar hantu jelek yang kerjaannya membunuh orang."
Si hantu hitam besar berjalan—atau mungkin melayang?—menuju kearahku, membuatku memundurkan langkahku dan semakin mendekatkan posisiku dengan Joohyun. Wajahnya yang sehitam jelaga dan matanya yang semerah darah menatapku, membuat tubuhku seakan-akan mematung dengan sendirinya. Tidak, aku tidak boleh tegang disaat seperti ini.
"Oh, aku nggak membunuh orang-orang itu sendirian, Yoongi." ujarnya, dan tanpa alasan yang jelas, jantungku serasa berhenti berdetak selama beberapa saat.
"Dia benar." sahut sebuah suara, dan tanpa pernah terpikir sekalipun olehku, seorang gadis tiba-tiba saja muncul dari belakang si hantu. Dia hanya mengenakan sweater besar berwarna pink cerah, celana jeans, sepatu kets putih, rambut panjangnya dia biarkan tergerai dan penampilannya begitu normal. Kakiku rasanya tidak menapak kepada tanah saat aku mengenali wajah gadis itu.
Jung Soojung.
YOU ARE READING
The Frighteners
FanfictionMin Yoongi adalah seorang pemburu hantu. Bae Joohyun adalah seorang penyihir. Roda takdir mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak terduga. Serangkaian pembunuhan misterius disertai dengan kemunculan penampakan-penampakan hantu membuat Yoongi d...