Aku sama sekali tidak bisa tidur.
Aku hanya berguling di kasurku, menatap langit-langit, menatap jam dinding, sesekali memainkan ponselku, kemudian menatap langit-langit lagi. Setiap kali aku mencoba untuk menutup mataku, bayangan makhluk itu muncul dihadapanku, menghantuiku, seakan-akan siap mencekikku kapan saja.
Dan aku tidak mau tidurku diganggu olehnya lagi.
Jadi, daripada menghabiskan malamku dengan sia-sia diatas kasur sendirian, aku memutuskan untuk menonton film ditemani sekaleng bir. Tenang, aku ini bukan tipe orang yang gampang mabuk, jadi sekaleng bir tidak akan membuatku terkena hangover nanti pagi.
Sekalipun film yang diputar di tivi cukup menarik, aku tidak terlalu memerhatikannya. Otakku sibuk memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu, memutarnya kembali seperti sebuah cuplikan film yang mengerikan. Hawa panas yang berasal dari amarah Seokjin, api yang membakarnya, kemudian makhluk itu... Kekuatan yang dimilikinya sangatlah besar, dan aku penasaran siapa dalang dibalik semua ini.
Aku bisa merasakannya sedang merencanakan sesuatu. Dan aku tahu, sesuatu itu buruk.
Jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, dan film yang ditayangkan di tivi sudah hampir habis. Aku menguap lebar-lebar kemudian menenggak sisa bir yang ada di kaleng sebelum membuangnya ke tong sampah di dekat sofa yang tengah aku duduki.
Tanpa sadar, perlahan aku mulai berbaring diatas sofa, badanku miring menghadap layar tivi, kemudian tahu-tahu saja, semuanya menjadi gelap.
*
Selang beberapa jam kemudian, aku terbangun gara-gara sebuah suara ketukan ringan di pintu rumahku.
Aku mengumpulkan nyawa selama beberapa menit, menatap jam yang menunjukkan pukul tujuh tepat, kemudian menyeret langkahku menuju foyer untuk membuka pintu. Ketika aku melakukannya, Jongwoon tengah berdiri dihadapanku dengan sebuah senyuman lebar. Joohyun berdiri tepat dibelakangnya, dan barangkali aku salah lihat atau nyawaku memang belum terkumpul semua, tapi cewek itu sempat tersenyum sekilas kepadaku.
Sial. Tampangku pasti lagi acak-acakan banget sehabis bangun tidur.
"Selamat pagi!" sahut Jongwoon. "Aku datang karena mencemaskan keadaanmu. Well, sebenarnya, Joohyun dibelakangku ini yang mengkhawatirkanmu lebih daripada aku, jadi kami memutuskan untuk mengunjungimu. Nggak apa-apa, kan?"
Tanpa malu-malu, Joohyun meninju rusuk Jongwoon, memasang tampang jengkel sementara Jongwoon mengaduh kesakitan.
"Yah—nggak apa-apa sih, tapi hyung, apa kamu nggak kerepotan—"
"Kerepotan? Pfft." Jongwoon tersenyum. "Aku dan Joohyun melakukan ini dengan senang hati. Omong-omong, kami juga bawa sup jagung hangat untuk sarapan, loh."
Wow, astaga. Aku belum pernah merasa tersentuh seperti ini sebelumnya.
"Tentu—maksudku, ya ampun. Silahkan masuk." saking terharunya, aku sampai terbata-bata bahkan untuk mempersilahkan Jongwoon dan Joohyun masuk.
Sejak kecelakaan yang menimpaku tiga tahun lalu, aku belum pernah kedatangan tamu lagi, jadi bisa dibilang ini pertama kalinya bagiku. Jujur saja, aku merasa sangat tersentuh melihat Jongwoon—dan barangkali Joohyun juga—memedulikan keadaanku seperti ini. Padahal kan, aku cuman terbang membentur tiang saja, tidak lebih.
"Astaga, kamu minum ini semalam?" tanya Jongwoon, menunjuk kaleng bir di tempat sampah dekat sofa ketika aku mempersilahkan mereka duduk di ruang tengah rumahku. Setidaknya, ruangan ini tidak terlalu berantakan.
Aku hanya bisa menunjukkan cengiranku.
"Jadi, dimana dapurnya? Kita harus makan sup itu sekarang sebelum dingin. Joohyun, biar aku yang menyiapkannya, sini." mendengar perkataan Jongwoon, Joohyun langsung menyerahkan kotak makanan yang cukup besar yang sedari tadi dipegangnya kepada kakaknya itu, tentu dengan tampang jengkel yang sama seperti sebelumnya.
"Hyung, dapurnya agak berantakan..."
"Nggak masalah." Jongwoon berdiri kemudian tersenyum simpul. "Kamu nggak perlu mengantarku, cukup beri arahnya saja."
Aku tersenyum garing kemudian menjawab, "Lurus terus kemudian belok kanan, persis didepan kamar mandi."
Selang beberapa detik kemudian, Jongwoon sudah menghilang dari hadapanku, meninggalkan aku dan Joohyun berdua di ruang tengah dengan tivi yang menyala dalam suasana yang luar biasa canggung.
Aku tidak tahu apakah aku harus mengajaknya berbicara atau tidak. Dilihat dari ekspresi wajahnya, mood Joohyun sedang tidak terlalu baik pagi ini, dan aku takut aku malah jadi salah bicara dan membuat mood-nya jadi semakin memburuk.
Lagipula, seingatku, dari kemarin dia bersikap ketus terhadapku, mungkin karena akhirnya dia tahu bahwa athame yang seharusnya menjadi barang warisan keluarganya ada di tanganku. Wajar saja kalau dia kesal, sih. Aku memang secara teknis tidak memiliki hak untuk memegang belati sakti itu, tapi, aku juga tidak rela melepaskan benda itu begitu saja.
"Anu—tentang percakapan kita kemarin di mobil..." secara mengejutkan, Joohyun akhirnya buka suara. "Aku minta maaf. Aku sudah menyinggungmu, ya?"
Aku mengerutkan keningku kemudian menatapnya, yang saat ini tengah menatapku juga. Saat ini, dilihat dari ekspresi wajahnya, aku bisa menangkap adanya penyesalan.
Dan hei, ternyata dia manis banget.
"Yang mana, ya?" tanyaku, berpura-pura untuk lupa padahal aku ingat betul apa yang kita bicarakan di mobil kemarin.
"Itu lho, waktu aku tanya kenapa kamu memilih mobil klasik kemudian..."
"Oh, yang itu." aku berusaha menyunggingkan senyuman terbaikku kepadanya, dan sepertinya, itu sukses membuatnya tersipu.
Gila, sudah lama banget aku tidak mengobrol lama dengan cewek begini.
"Tenang, kamu nggak salah apa-apa, kok." ujarku, membuat Joohyun jadi sedikit berbinar. "Aku cuman...nggak tahu harus ngomong apa kemarin, soalnya aku takut kamu jadi salah sangka."
"Begitu...." Joohyun menanggukkan kepalanya, semburat merah sedikit terlihat di pipinya.
"Kamu penasaran?" tanyaku, kali ini berhasil membuat Joohyun gelagapan.
"Eh? Nggak kok, kalau kamu nggak mau bilang juga nggak apa-apa, serius." jawabnya, dengan tempo yang kelewat cepat.
Aku kembali tersenyum. Heran, sejak bertemu Joohyun kemarin, aku jadi lebih sering tersenyum.
"Kamu mungkin bisa melihatnya sekilas. Yah... bisa dibilang aku ini agak...cacat. Kaki kiriku nggak bisa sepenuhnya berjalan dengan normal, jadi, kalau kamu melihatku berjalan, kelihatan kalau aku agak terpincang-pincang." kataku, dan sekarang, Joohyun terlihat cukup terkejut.
"Selain itu, kaki kiriku juga nggak terlalu kuat untuk menginjak pedal yang keras, sedangkan mobil klasik yang aku beli punya pedal yang cukup lemah dan bisa aku injak dengan mudah." lanjutku, membuat Joohyun menganggukan kepalanya.
"Sori...aku nggak tahu." ujar Joohyun. "Lagipula mobil kamu keren kok, beneran deh. Aku kira mobil semacam itu cuman ada di film-film jadul saja, ternyata kamu juga punya."
Senang rasanya mendengar seseorang memuji mobilku.
"Terima kasih." kataku tulus.
Tidak lama kemudian, Jongwoon datang membawa nampan berisi semangkuk sup dengan asap mengepul diatasnya, tiga buah mangkuk dan sendok, serta tiga gelas air mineral. Sial, sekarang aku jadi tidak enak karena malah disuguhi makanan oleh tamu. Padahal kan, aku tuan rumahnya.
"Setelah makan, kita pergi ke kenalanku yang ada di selatan sana untuk mencari tahu lebih lanjut tentang sihir hitam yang lagi kita hadapi saat ini. Menurut pengamatanku, si penyihir hitam ini tengah merencanakan sebuah ritual dengan mengorbankan nyawa orang-orang tidak bersalah. Tapi, aku juga belum tahu secara persis, jadi kita harus—"
Ucapan Jongwoon terhenti saat sebuah telepon masuk kedalam ponselku. Nomornya tidak dikenal, tapi entah kenapa, aku langsung tahu bahwa aku mendapatkan kasus baru.
"Hyung, maaf. Tapi sepertinya aku harus menjawab yang satu ini dulu. Ini penting."
YOU ARE READING
The Frighteners
FanfictionMin Yoongi adalah seorang pemburu hantu. Bae Joohyun adalah seorang penyihir. Roda takdir mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak terduga. Serangkaian pembunuhan misterius disertai dengan kemunculan penampakan-penampakan hantu membuat Yoongi d...