Part 18 : First Step

1.1K 101 23
                                    

Assalamu'alaikum🙏

Ada yang nungguin kah?😂 haha pede banget gua😂

Enaknya Luthfi gua sembuhin gak ya? Atau gua buat nambah belok aja? Kayanya seru😆😆

⚠ warning gengs. Ada satu kata yang harusnya disensor tapi gua males😂

Happy reading~

✒✒✒

Sudah genap hari Luthfi menjalani hukuman--skors dari sekolah, berarti tersisa tiga hari lagi ia akan kembali masuk sekolah, jujur ia belum siap mental. Selama empat hari itu juga, sudah terhitung dua kali ia pergi ke pskiater untuk berkonsultasi, hasilnya memang belum terlalu kelihatan, tapi ia optimis ingin sembuh bagaimana pun ini sangat dilarang oleh Agamanya.

Luthfi yang pada dasarnya pendiam semakin menjadi diam, ia tidak akan mengeluarkan suara apabila dirasa tidak terlalu penting, badai dalam hatinya pun tak kunjung reda. Ia akan selalu mengurung diri dikamar selepas pulang dari pskiater bersama Ibunya atau sesudah mereka makan malam bersama. Empat harinya dihabiskan didalam kamar.

Bahkan sejak lusa kemarin Vania--Kakak perempuan yang selisih empat tahun darinya pulang, mengambil cuti untuk berlibur, karena bisa terhitung dari sekarang Kakak perempuannya itu tidak pulang selama hampir setengah tahun. Namun Luthfi sama sekali tidak berinteraksi apapun terhadap Kakak satu-satunya itu. Ia malu, sangat!

Hubungan dirinya dengan Ayahnya pun merenggang, entah pria paruh baya itu masih marah, malu, kecewa atau memang sedang menghukumnya.

Luthfi menghembuskan nafasnya yang terasa begitu berat, kemudian menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, tanpa mengindahkan notifikasi yang masuk pada ponsel pintarnya. Tanpa ia membuka pun, ia sudah tahu siapa, dan isinya apa. Luthfi tidak peduli, tidak penting! Meskipun secara tidak langsung membuat hatinya memanas.

Ia menutup mata sejenak, lalu kembali membuka mata yang selalu menatap tajam pada siapapun itu. Luthfi sangat lelah.

Ia selalu mendapat pesan terror.

Boleh tidak ia beristirahat untuk selamanya?

Menutup mata tajamnya untuk selamanya?

Tidak usah melihat hari esok lagi, apa boleh?

Jika boleh, Luthfi ingin hal itu sekarang juga. Ia ikhlas meskipun nanti ia akan mendapatkan tempat yang bersanding dengan orang yang sama-sama laknat seperti dirinya.

Nafasnya semakin tak beraturan, dadanya bergemuruh hebat, ulu hatinya terasa begitu ngilu dan nyeri, dan mata tajamnya yang sudah terasa berembun.

Sedetik lagi ia akan menangis, namun langsung terpecah karena mendapatkan ketukan dari pintu kamarnya.

"Luthfi didalem kan?" Suara lembut itu mengalun dengan indah pada gendang telinganya.

"Masuk aja." Sahut Luthfi singkat.

Lalu perlahan pintu cokelat kamarnya terbuka, tanpa perlu susah-susah menoleh Luthfi tahu siapa yang sedang memasuki kamarnya ini.

Ranjangnya melesak kedalam membuat badan Luthfi sedikit terguncang, gadis paras ayu mirip dirinya kini duduk disampingnya. Seulas senyum mengembang di bibir Vania, melihat penampilan Adiknya yang terlihat lebih maskulin karena kumisnya sedikit lebat.

"Kenapa gak pernah cerita?" Tanya Vania begitu pengertian, membuat pandangan Luthfi yang tadi lurus kini menatap kebawah, menatap kedua tangannya yang terjalin dengan erat.

Merasa tidak ada jawaban apapun dari Luthfi, Vania pun bergerak lebih dekat. Lalu memeluk bahu Adik lelakinya itu, dan menyandarkan kepalanya pada bahu Luthfi.

Dear Luthfi✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang