Epilog

955 95 17
                                    

✒✒✒
Luthfi POV

Bukan aku  tau, aku tak pernah tutup mata atas apa yang aku lihat dan aku rasa.
Aku tau dia selalu melihatku dari jauh, memperhatikanku. Namun aku diam, aku ingin tau seberapa lama dia akan bertahan seperti itu.

Aku tau bahwa dia mengagumi secara diam-diam, terdengar narsis, namun begitu adanya. Dia yang terus mendekat namun aku yang terus menjauh. 

Nyatanya sifat dinginku padanya tidak membuatnya jera, dia makin gencar. Dan itu menyebalkan, karena saat ini aku tidak ingin didekati oleh siapapun. Karena aku sudah punya pilihan.

Gadis itu bagaikan tiada ada rasa jenuh terus mendekati ku, dan sepertinya berhasil. Aku dekat dengannya karena suatu peristiwa. Dimana saat itu aku ditinggalkan seorang diri, karena mengetahui bahwa aku gay.

Awalnya gadis itu sempat terkejut dengan orientasi ku yang tak wajar, namun aku tidak tau dirinya kala itu aku memohon padanya untuk membantuku. Membantuku agar menjadi sewajarnya lagi.

Semenjak kejadian itu hubungan kami kian dekat, bahkan tak jarang banyak yang menyangka kami memiliki hubungan khusus, namun nyatanya tidak. Sekali lagi aku katakan karena aku punya pilihan lain. Namun aku tidak mampu mengatakannya.

Entah ego darimana aku menahannya begitu lama, sementara aku dengan pilihanku sendiri, terdengar brengsek memang. Ya itu aku.

Aku dan ego ku yang besar.

Bahkan terkadang aku tak segan-segan melempar tatapan tak suka, pada siapa saja yang mendekati gadis itu. Irianto contohnya.

Juga terkadang aku suka dongkol sendiri melihat Firza begitu dekat dengannya. Ya Firza, sahabatku itu. Dan dengan brengseknya lagi terkadang aku kesal padanya.

Aku sadar sikapku seperti ini terkadang membuatnya tak nyaman. Namun perlu aku ingatkan lagi, aku bukan seseorang yang suka berbagi, apa yang sudah ada didekatku, tidak ada yang boleh mendekati. Egois sekali bukan? Ya... Itu aku.

Hingga pada saat itu, hari dimana harusnya menjadi hari bahagia untuk gadis itu, namun aku menghancurkannya begitu saja. Hati kecilku sudah tidak tega menyembunyikan semua ini. Aku yang seolah memberi harapan, namun nyatanya mempunyai pilihan lain.

Hari itu aku melihatnya begitu murung dan banyak melamun akhir-akhir ini, aku tau akar permasalahannya karena apa. Gadis itu ternyata sedang perang dingin dengan sahabatnya--Firza-- namun aku tak tau permasalahnnya apa. Dan aku pun mencoba untuk menghiburnya. Ini hari bahagianya, tak seharusnya dia begini iyakan?

"Gua gak tau masalah kalian berdua apa, gua gak mau ikut campur. Tapi yang gua mau kalian cepet baikan, gak enak banget liat Firza yang kaya ayam kena flu burung, lo yang berubah jadi sering ngelamun, diem aja. Serem tau gak gua liatnya." Kataku sembari tertawa kecil. Melihat dia yang biasa selalu nyerocos lalu tiba-tiba diam, itu bukan dia sekali.

Kembali aku berucap, "Udah sih senyum. Masa yang lagi ulang tahun cemberut terus."

Aku melihat dia cukup terkejut dengan ucapanku, aku tebak pasti dia lupa. Dan dia mengiyakannya. Aku mengulas senyum melihatnya. Lalu aku pun berucap akan mengajaknya kesuatu tempat sepulang sekolah nanti.

Aku ingin memberinya hadiah.

Aku mengajaknya kesebuah Mall di kawasan kota Cirebon, Mall ini cukup terkenal dikota ini.

Awalnya kami hanya berkeliling tak menentu, hingga rasanya kaki sudah terasa begitu pegal. Lalu aku menariknya kesebuah toko boneka, dan sepertinya dia senang. Terlihat dari binar matanya menatap boneka-boneka yang berjajar rapi itu.

Aku memintanya untuk memilih sendiri, karena memang aku tidak tau apa seleranya. Aku menatap dari belakang, sambil sesekali terkekeh karena melihatnya yang begitu gemas pada boneka-boneka itu. Namun aku kembali tertohok dengan kenyataan bahwa gadis itu, gadis yang 'akan' aku 'sakiti'

Dear Luthfi✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang