⚠ part panjang.
⚠ banyak typo, males revisi.✒✒✒
Pagi ini entah lah Biya sudah seperti satpam stand by didepan kelasnya, dengan mata menatap lurus kedepan lebih tepatnya mengamati setiap murid yang kini sudah lalu lalang masuk kedalam kelasnya. Ia terus menatap kearah pintu kelas Firza sambil meneliti apakah Luthfi masuk sekolah hari ini?
Pasalnya ini sudah pukul tujuh kurang sepuluh menit, namun sedari tadi Biya tidak melihat tubuh kekar Luthfi dengan balutan seragam sekolah melenggang masuk kedalam kelasnya itu.
Apa lelaki itu tidak masuk?
Apa karena kejadian kemarin?
Padahal semalam ia sudah mengirim pesan kepada Luthfi, agar dia menghiraukan apa yang terjadi saat jam istirahat dikantin kemarin. Dan tak lupa ia pun memberi semangat mengatakan bahka dirinya ada pada kubu lelaki itu, jadi jangan merasa sendiri dan putus asa dengan keadaan yang tidak bisa dibilang enteng ini.
Namun sepertinya wajah dengan mental Luthfi tidak sinkron, tampangnya saja yang garang namun mentalnya mudah goyah. Biya merasa sedikit kecewa karena Luthfi gampang sekali putus asa, dan tidak mau berusaha lebih keras lagi.
Bukankah ada pepatah mengatakan akan ada pelangi setelah badai? Harusnya Luthfi belajar dari situ, segala sesuatunya tiada yang tidak mungkin tidak membaik, pasti semuanya membaik dan pastinya akan berdampak baik untuk dirinya sendiri.
Suara bel menyentakan lamunan Biya, membuat gadis itu langsung menghela nafas lalu berjalan masuk kedalam kelasnya.
Sembari berjalan ia mengetik pesan kepada Luthfi.
To : Upi💕
Gua gak nyangka seorang Luthfi gmpang nyerah. Nyerah gak nyelesain smuanya.✒✒✒
Katakanlah Luthfi mental tempe, ya ia akui.
Katakanlah wajah dan mental Luthfi tidak sinkron, ya ia akui lagi.
Ia memang punya mental tempe sekarang, senggol sedikit langsung tumbang.
Caci sedikit, langsung ciut.
Semuanya benar. Karena memang itu yang ia rasakan sekarang.
Setelah mendapat perlakuan tidak enak dikantin kemarin oleh teman satu sekolahnya, mendadak ia menciut.
Semangat yang menggebu, ingin tetap melanjutkan kesempatan untuk lulus dari sekolah pun mendadak sirna.
Mentalnya tak segarang covernya.
Luthfi kembali merebahkan tubuhnya pada kasur empuk miliknya ini. Lagi, ia mainkan ponselnya yang hanya mengutak atik fitur galery entah apa yang ia cari, tapi sedari ia bangun tadi ia tidak keluar kamar, hanya berdiam diri dan melakukan aktivitas unfaedah itu.
Dan sedari tadi Ibunya terus bertanya dari luar, menyakan kalau Luthfi akan pergi bersekolah atau tidak? Ingin sarapan atau tidak? Atau belum bangun? Dan dengan bodohnya Luthfi hanya menangguk dan menggeleng tanpa mengeluarkan suaranya, sampai lebaran Gajah pun Ibunya tidak bakalan tau apa yang dirinya lakukan didalam.
Oh poor Luthfi, sepertinya ejekan dari teman satu sekolahnya kemarin, membuat saraf otak Luthfi lepas seperempat, hingga hasilnya begini.
Merasa bosan dan perutnya minta diisi akhirnya ia pun 'terpaksa' turun dari ranjangnya, dan kakinya menapaki ubin putih yang terlihat begitu bersih dan kinclong ini. Jangan ditanyai ini hasil kerja siapa, yang past Ibu tercintanya.
Perlahan tangan Luthfi perlahan memutar knop pintu kebawah, hingga pintu merah kebanggannya ini terbuka, ia memang tidak pernah mengunci pintu kamarnya. Luthfi punya alasan tersendiri, karena agar ia mudah keluar kamar jika nanti malam-malam ia mendapat panggilan alam, ia tinggal membuka pintu tanpa harus membuka kunci terlebih dahulu, membuang waktu itu kata Luthfi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Luthfi✔
Teen FictionMencintai dalam diam bukanlah hal yang mudah. Mengungkapkan perasaan secara terang-terangan, juga bukan perkara yang gampang. 13 November 2017©