✒✒✒
Suasana kelas yang sepi menemani Biya yang kini sedang menyantap sarapan miliknya. Ia tidak sempat sarapan tadi, gara-gara si Tuan perhitungan a.k.a Firza Andhika yang terus berteriak dari luar menyuruhnya untuk cepat berangkat padahal jam masih menunjukan pukul enam lewat lima belas.
Firza beralibi kalau dia belum sempat mengerjakan pr yang di berikan guru Minggu lalu, dan alhasil dia harus berangkat pagi-pagi agar mendapat contekan.
Hello itu pr dari jaman kapan masih belum di kerjain?
Dia ngapain aja sih?
Pacaran? Dia kan jomblo.
Terus selama ini aktivitas dia ngapain aja?
Bangun, makan, berangkat sekolah, ngelamun, pulang, tidur lagi gitu?
Huh sudahlah tidak ini masih pagi untuk mengeluarkan semua unek-unek tentang lelaki bertubuh mungil itu.
Biya kembali menyuapkan sesendok nasi goreng buatan Bundanya yang terasa begitu enak di lidah. Memang benar kata orang, tidak ada yang bisa menandingi makanan buatan Ibu sendiri, bahkan makanan hotel bintang lima pun kalah. Ibarat kata kalau Ibu masak hanya sayur asem dan ikan gesek pun kita makan terasa begitu nikmat.
Membahas tentang Ibu, membuat Biya semakin-makin sayang terhadap Bundanya. Bundanya sosok malaikat tanpa sayap yang siap siaga menolongnya dalam keadaan apapun, yang selalu membisikan kata-kata lembut di telingannya.
Sosok yang mampu membuat Biya tak mau kehilangan, bahkan kalau pun boleh meminta pada Tuhan, agar nanti ia terlebih dahulu yang di panggil jangan Bundanya, Biya tidak mau merasakan kehilangan, pasti itu sangat sakit.
Tanpa terasa matanya sudah sedikit memanas dan berair, ia paling sensitif kalau sudah menyangkut Bundanya.
Biya mengusap ujungnya, dan detik berikutnya ia hampir saja tersedak karena ada yang mengagetkannya dari depan. Ia mendongakan kepalanya, tunggu... sejak kapan dia menunduk? Huh ternyata sedari tadi ia melamun sambil memunduk kenapa ia tidak sadar?
Ia mendapati Saghara sudah berdiri di depannya dengan berkacak pinggang dan ekspresi kesal yang begitu aneh di mata Biya.
"Lo ngadu-ngadu ya?" Sembur Saghara, membuat Biya susah payah menelan sarapannya.
"Apa?" Suara Biya terdengar seperti tikus ke jepit karena makanan belum sukses meluncur indah pada tenggorokannya.
Saghara menaruh tas-nya tak santai di atas meja, lalu duduk di bangku miliknya.
Ini anak kenapa sih? Batin Biya heran.
"Biya ngadu-ngadu kan?!" Tuduh Saghara membuat Biya mengernyit bingung.
"Ngadu apaan sih Ghar?"
"Biya bilang sama Sinta kalo Ghara suka godain Biya, iyakan?" Saghara memajukan wajahnya kearah Biya membuat gadis itu langsung memundurkan kepalanya.
Sinta? Siapa dia?
"Sinta siapa? Gua gak kenal, lo dateng-dateng buat gua hampir kesedak, sekarang lo nuduh-nuduh gua, lo gak dapet jatah ya semalem?!" Ujar Biya sedikit kesal.
"Cewek yang Biya aja ke wc kemaren."
Cewek? Yang ia ajak ke toilet kemarin?
Biya memutar otaknya untuk mengingat kejadian kemarin.
"Ah! Adik kelas? Yang punya lesung pipi itu?"
Saghara mengangguk tak santai masih dengan ekspresi kesalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Luthfi✔
Teen FictionMencintai dalam diam bukanlah hal yang mudah. Mengungkapkan perasaan secara terang-terangan, juga bukan perkara yang gampang. 13 November 2017©