Sebelas

682 76 1
                                    

Yoora's POV

Sudah 2 minggu sejak aku terakhir bertemu dengan Daniel, meskipun ia masih rajin menelponku, tapi ia tetap saja hal itu tidak cukup bagiku.

Oya Daniel sudah punya handphone, di hari kami pergi nonton ia terus memamerkan handphone barunya.

Ia berkata bahwa ia sangat bangga karena benda itu ia beli dengan gaji pertamanya.

Alih-alih memujinya, aku malah mengomelinya karena menurutku gaji pertama harusnya untuk orang tua.

Kalau mengingat-ingat wajah cemberutnya saat itu aku ingin tertawa.

​Hari itu guru home scholling ku datang cukup pagi, aku tidak sekolah di sekolah biasa karena materi pelajaran yang sangat tertinggal, aku harus mengulang semuanya dan masuk ke universitas terlambat dari orang-orang seusiaku.

Aku bosan karena kami sedang belajar biologi, pelajaran yang kurang kusukai karena banyak hal yang harus dihafal.

​Teleponku bordering, aku segera beranjak untuk mengangkatnya setelah meminta ijin pada guruku.

"yeobsaeyoo?"

"annyeong Kim Yoora, sedang apa?" suara serak dengan nada ceria terdengar di ujung sana.

"aku sedang belajar oppa, guruku datang ke rumah."

"apakah aku mengganggu? Kalau iya aku akan tutup teleponnya."

"ah jangan oppa! Tidak masalah kok sebentar lagi. Aku sudah minta ijin"

"bogoshipta Yoora-ya"

"Ne?"

***

​Daniel menghela nafas, melihat handphone yang baterainya habis.

Semalam ia lupa men charge benda itu, ia mengumpati kebodohannya sendiri karena baterai habis itulah yang membuat ia harus mengakhiri panggilan dengan Yoora padahal ia belum selesai dengan kata-katanya.

Bodoh kau Kang Daniel.

***

Yoora hanya terdiam di depan handphone nya.

Daniel merindukanku?

Ia berusaha menampar dirinya sendiri untuk meyakinkan diri ini bukan mimpi, tapi dihentikan oleh akal sehatnya.

Ia akan terlihat bodoh di depan gurunya saat ini kalau ia menampar pipinya
.
"Yoora-ssi, kamu mendengarkan saya?"

suara gurunya menyeruak masuk indra pendengarannya, membuat Yoora terperanjat dan hanya senyum-senyum bodoh kepada gurunya.

"Tolong konsentrasi."

"Ne." jawab Yoora sedikit malas.

Ia tidak ingin belajar lagi setelah apa yang dikatakan Daniel.

​Malam itu Yoora hanya duduk menonton channel kesayangannya yang menampilkan acara kecantikan.

Ibu belum pulang, katanya lembur karena ada banyak pelanggan bulan ini.

Hujan deras diluar sana membuat Yoora mengurungkan niatnya untuk bergerak dari sofa, terlalu nyaman.

​Tiba-tiba suara petir menyambar, cukup keras untuk membuat Yoora terkejut dan mulai ketakutan.

Ia sangat takut dengan petir karena ayahnya meninggal di malam hari yang penuh suara petir menggelegar.

Kabar tentang meninggalnya sang ayah adalah petir terbesar di hatinya yang membuat semuanya tidak sama seperti sebelumnya, ibu menjadi seorang yang gila kerja untuk memenuhi kebutuhan dan Yoora menjadi anak pendiam tanpa wajah ceria dan enggan bicara pada orang.

Yoora masih sering melihat ibu menangis sendirian di hadapan foto ayah, hal itu membuat hatinya lebih hancur lagi.

​Dirinya menangis dalam diam dan gemetar ketakutan di tengah sofa, suara petir masih terdengar dan bahkan tidak mereda.

Tiba-tiba Yoora merasakan kehadiran orang, orang itu ada didekatnya tapi Yoora tidak ingin mendongak, percayalah wajah Yoora akan terlihat sangat buruk saat ia menangis.

Tapi orang itu tidak mengucapkan apapun dan ikut duduk di sofa dan sedetik kemudian memeluknya, menarik dirinya yang lemah itu ke rengkuhan hangat yang menenangkan.

Meletakkan kepala Yoora pada ceruk lehernya, seperti ingin menyembunyikan Yoora dari semua rasa takut.

Yoora tau dia adalah Kang Daniel.

Kang Daniel's POV

​Aku sudah mengetok pintu rumah Yoora beberapa kali, tapi tidak ada yang membuka.

Di dalam ada suara televisi, kenapa tidak ada yang membuka pintu? Semua pikiran negatif segera menyeruak masuk ke pikiranku dan segera saja aku menerobos masuk ke rumah itu.
Pikiran negatifku memang salah, tapi aku melihat gadisku menangis sendirian diatas sofa dengan televisi menyala.

​Reflek aku langsung berjalan cepat kearahnya mengamati keadaannya yang terlihat sangat ketakutan.

Aku menariknya, menariknya kedalam pelukanku, membiarkan dirinya yang begitu lemah itu berlindung sebentar di dalam rengkuhan hangat.

Aku berpikir, hanya hal ini yang bisa kulakukan untuknya saat ini, karena pelukan penuh perlindungan adalah obat yang manjur untuk pribadi yang gemetar ketakutan.

Aku meletakkan kepalanya di ceruk leherku dan bisa kurasakan kerah kemejaku basah oleh air matanya.

Hatiku ikut hancur melihatnya seperti ini, bagaimana bisa aku tidak disampingnya saat ia ketakutan seperti ini.

Belum sempat aku menyesali kebodohanku, Yoora sudah mengeratkan pelukannya padaku. Ia tidak lagi gemetar tapi tangisnya belum berhenti.

Aku mengusap kepalanya.
"gwenchana Yoora-ya, aku disini untukmu."

Tidak mendapatkan jawaban, aku berinisiatif untuk melanjutkan kata-kataku.

"hei, kamu anak yang kuat, ulchima arasseo?"

aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku dan menghapus air matanya.

Aku ingin ikut menangis saat ini melihat air matanya.

"oppa, wae oppa ikut menangis?ulchima." tidak kusadari air mata itu sudah jatuh, ia perlahan menghapus air mataku dengan tangan kecilnya.

Kami kembali mendekap tubuh satu sama lain, berbagi kehangatan dengan diam seribu bahasa, menikmati saat ini.

​"sudah lebih baik?" Daniel memberikan secangkir teh hangat.

"much better.gomawo oppa." Aku mengangguk lalu menyeruput tehku. Hangat.

"Jadi.." Daniel terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.

"Kamu.. takut karena apa? Sampai seperti itu." Aku terdiam, kali ini akulah yang ragu untuk menjawab pertanyaannya.

"kalau kamu tidak mau menjawab tidak apa-ap.."

"Petir, aku benci petir." Aku memotong kata-katanya

"petir mengingatkanku pada kejadian buruk bertahun-tahun lalu, appa ku meninggal dan berita itu datang pada hari penuh deru suara petir, mirip seperti tadi." Aku tidak menyadari suaraku gemetar dan tubuhku menegang, mengingat hari itu hanya membuka luka lama hati.

Belum sempat kujelaskan lebih lanjut alasanku dan aku merasa tubuh ini menghangat karena saat ini aku kembali kepada dada bidang lelaki itu.

Tempat ternyaman untuk peristirahatan hatiku.

"jangan diteruskan, aku sudah mengerti." Gumam Daniel

Kata-katanya menghentikan semua penjelasanku, jantungku yang berdegup kencang menghentikan niatku untuk terus berbicara.

Semoga dia bisa mendengar degup ini, agar ia tahu betapa aku mencintainya.

Hai hai hai
Aku ganti cover buku ini, credit to krucious
Benernya ada 1 lagi, tapi masih kusimpan buat kapan-kapan~
How do you think?

Adore you {Kang Daniel ff}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang