Chapter 66: First Kiss?

244 3 0
                                    

>>Eps. Lalu...

Aku sejenak berpikir mengenai adegan terakhirku yang harus berciuman dengan Tony. Apakah aku siap? Sebuah ciuman pertama dapat mengubah segalanya. Terlebih lagi aku, sesosok reaper akan berciuman dengan seorang manusia, yaitu Tony. Hal tersebut bukanlah hal yang lazim. Kalau orang lain tahu apa yang sebenarnya terjadi, bisa heboh nanti mereka.

Tetap berpikir positif, aku tidak bisa stress hanya karena memikirkan hal tersebut. Walaupun aku dan Tony akan melakukan adegan ciuman, ciuman ini ciuman terpaksa karena hanyalah acting. Huft...
.
.
.
.
.

Acara kembali dilanjutkan dengan babak terakhir drama kami. Babak ketiga dimana menjadi puncak drama kami. Para penonton masih antusias menanti kehadiran kami di panggung. Antusias para penontonlah yang menjadi semangatku hingga sekarang.

Meskipun adegan-adegan yang telah ditampilkan cukup menguras energiku, namun aku berusaha membuat performa penampilanku tidak turun, seperti yang Tony pernah katakan padaku. Aku selalu ingat perkataannya dimana ia berkata padaku bahwa menampilkan seni drama itu harus dinikmati, jangan dibawa stress. Aku jadi penasaran apa Tony memang pernah ikut drama sebelumnya sehingga dia bisa menasihatiku seperti itu.

Aku masuk ke dalam panggung beserta para pemain lainnya untuk memerankan babak terakhir drama ini. Sebagai babak puncak, adegan-adegan yang kami perankan tentunya semakin klimaks. Bila adegan-adegan ini berjalan dengan mulus, maka seharusnya rasa tegang memenuhi perasaan para penonton.

Tibalah adegan perang terakhir. Hampir seluruh pemain turut serta dalam bagian ini. Aku dan Tony, terutama Tony sendiri telah mengajarkan kami semua cara memainkan pedang dengan benar sejak latihan-latihan sebelumnya atas dasar inisiatifnya.

Berkat kemauan dan pengajarannya, kami semua bisa memerankan adegan yang mampu menarik perhatian para penonton ini. Walau ini hanya pura-pura, dengan didukung efek suara yang baik, permainan pedang kami bagaikan sungguhan dan mampu membuat mata penonton terus terpaku pada kami.

Akhir dari adegan perang, inilah adegan yang menjadi tantanganku dan Tony: ciuman. Oh, Tony mendekat kepadaku. Tangannya merangkul pinggang dan bahuku. Astaga, detak jantungku seketika menjadi begitu cepat, apalagi ketika Tony mulai mendekatkan kepalanya ke wajahku. Namun apa hanya perasaanku atau bukan, ada hal aneh pada ekspresi Tony.

Wajahnya memang mengekspresikan rasa lega, tetapi ada kesenduan yang tergambar dari sorot matanya kepadaku. Kini wajahnya sangat dekat denganku. Bibirku bergetar tanpa bisa mengalihkan pandanganku dari mata Tony. Aku begitu gugup untuk melakukan adegan ini.

". . . Anabeth... aku..." bisik Tony kepadaku dengan penuh perasaan.

Aku tidak sanggup untuk melihat Tony yang begitu dekat denganku lebih lama lagi. Mungkin sekarang wajahku telah menjadi begitu merah. Karenanya, aku memejamkan kedua mataku. Aku tidak mau melihat apa yang kulakukan ini di panggung!

Cup!

Ciuman pertamaku...

Tidak, ini bukan ciuman antara bibir ke bibir. Tony hanya mencium keningku, bukan bibirku. Ciuman pada dahiku ini mengingatkanku pada saat pertama kali mengungkapkan perasaannya. Kini terjadi lagi.

Aku membuka mataku perlahan dan aku terheran ketika mendapati air mata telah mengalir dari mata Tony ke pipinya. Aku juga memeperhatikan badan Tony sedikit bergetar. Tidak, ini tidak seperti skenario yang seharusnya. Tony sama sekali tidak melakukan apa yang ada dalam skenario.

Tony lalu menyingkirkan bibirnya dari dahiku sambil terlihat menahan air mata serta ekspresinya. Kami melanjutkan sedikit lagi adegan kami hingga akhirnya seluruh pemain masuk ke panggung dan memberi hormat kepada para penonton. Para penonton berdiri dan menghujani kami dengan tepuk tangan meriah. Sorak sorai mengiringi meriahnya tepuk tangan di dalam aula sambil musik orkestra mengiringi akhir drama kami.

Black HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang