Panggilan pertama yang ia tujukan pada Alger tidak diangkat. Dan kini, Dira kembali menelpon Alger saat ia sudah sampai rumah. Ia memang pulang terlalu larut malam ini. Bahkan, Mas Dio sampai memarahinya karena Dira memang jarang pulang selarut ini, dan Dira juga mengakui jika ia memang lupa waktu.
Panggilan kedua masih tidak diangkat, dan Dira melakukan panggilan ketiga dan keempat.
"Kenapa belum tidur?" Suara Dio tiba-tiba mengagetkan Dira. Saat ini mood Mas Dio terlihat sedang tidak baik. Terbukti dari nada sinis yang sejak Dira pulang ditujukan padanya. Huh, untung Dira sudah biasa.
"Ah-iya Mas nanti."
"Ngga ada nanti-nanti. Sana masuk kamar!"
"Iya."
Tanpa melihat ponselnya yang ternyata sudah ada yang mengangkat, Dira langsung mematikan sambungannya dan berjalan gontai menuju kamar. Dalam hati ia berniat akan kembali mencoba untuk menelpon Alger saat di kamar.
***
Alger menyimpan ponselnya diatas telinga, dengan sedikit gugup. Ia takut Dira salah paham. Dan ia juga takut Dira akan berfikir yang tidak-tidak.
Sambungan pertama, masih belum diangkat. Sambungan kedua, ketiga, dan yap akhirnya sambungan keempat pun Alger bisa mendengar suara Dira.
"Alger, gue udah dirumah." Ucap Dira saat sambungan mereka tersambung. Alger terdiam. Dira tidak marah?
"Dir?" Sapa Alger.
"Kenapa?"
"Lo ngga marah?" Pertanyaan Alger membuat gadis yang di sebrang sana mengerutkan dahinya lalu tersenyum mengerti.
"Oh soal tadi sekolah? Yang ada gue yang mau minta maaf sama lo. Maaf ya, gue kekanak-kanakan." Ucap Dira.
Ucapan Dira itu justru semakin membuat Alger heran. Bukan, bukan itu maksud Alger. Okelah, ia pun heran mengapa Dira terlihat biasa-biasa saja lagi, tapi maksud Alger adalah kejadian ditelpon oleh Abel tadi. Apakah Dira tidak mau membahasnya atau bagaimana?
"Tadi lo nelpon kan?" Tanya Alger, masih penasaran.
"Iya, kenapa nggak diangkat sih?"
"Lo baru nyampe rumah?"
"Setengah jam yang lalu lah kira-kira gue nyampenya. Kenapa?" Tanya Dira, karna tidak biasanya Alger memberikan banyak pertanyaan padanya.
"Oh."
"Iya."
"Tadi ada yang ngangkat telpon lo." Ucap Alger.
"Telpon gue?"
"Iya, tadi Abel ngangkat telpon lo, tapi lo langsung matiin telponnya. Gue takut lo salah paham." Jelas Alger pada Dira.
"Oh tadi ada yang ngangkat telpon gue?"
"Oh, lo nggak tau?"
"Nggak, gue tadi dimarahin Mas Dio dan hp nya gue jauhin dari telinga. Mungkin gue nggak nyadar kalo ada yang ngangkat, makanya langsung gue matiin." Jelas Dira juga.
"Ah gitu. Gue cuma takut." Mendengar itu, Dira tertawa kecil.
"Takut gue salah paham?" Tanyanya disebrang sana. Alger mengangguk walaupun ia tahu Dira tidak bisa melihat itu.
"Iya."
"Oh-hahahaha. Alger ternyata nggak mau gue marah ya? Cieeeeee." Dira mencoba untuk menggoda Alger. "Cie Alger yang nggak mau kehilangan gue. Cieeee."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Algeraldi [Completed]
Ficção AdolescenteAlger story. Untuk menjadi pribadi yang supel itu susah, apalagi untuk orang yang sudah di anugrahi irit berbicara tetapi otak bekerja seperti Alger. Sedih, diem. Marah, diem. Seneng, diem. Sampe suka sama orangpun, dia diem. Pinginnya action, tap...