Ger. Axel udah ngga ada.
Buru-buru alger mengambil kunci motor abangnya, dan menancapkan gas kerumah sakit tempat dimana Axel selama ini dirawat.
Fahri lah yang mengirimkan sms padanya. Tepat saat ia hendak berangkat ke rumah sakit untuk bertukar menjaga Axel dengan Fahri.
Alger menancapkan gasnya dengan kecepatan tidak terduga. Alger benar-benar buru-buru. Iya berharap, Fahri hanya mengisenginya dan menjahilinya saja. Ya, Alger mencoba untuk berpikir seperti itu saat ini.
Sampai didepan ruangan Axel, semuanya terjawab. Axel benar-benar sudah tiada. Steva menangis, Bibi menangis, dan Fahri pun menangis.
Hati Alger berkecamuk. Sahabatnya, sudah tiada.
Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan Axel, dan memberitahukan jika Jenazah Axel akan di pindahkan.
Hati Alger seperti dihantam oleh ribuan batu besar. Benar-benar sakit sampai dirinya tak tahu lagi bagaimana caranya untuk bernafas. Alger benar-benar kacau. Sangat kacau.
Air matanya terjatuh saat melihat tubuh Axel yang ditutup oleh kain, dan tidak ada lagi selang serta infusan yang menempel ditubuh lelaki itu.
Alger menangis.
Menangis sejadi-jadinya saat melihat sahabatnya sudah tidak bernyawa.
Alger menghentikan suster yang tengah mendorong Kasur Axel, dan membuka kain tersebut untuk memastikan apakah itu sahabat atau bukan.
Dan ya, itu Axel.
Wajahnya pucat pasi. Bibirnya putih, badannya dingin, dan tidak ada lagi deru nafas serta detak jantung yang menandakan kehidupan. Axel benar-benar sudah tiada. Ya, Axel meninggalkannya.
Fahri merangkulnya, dan memeluknya. Ya, mereka berdua sama-sama menangis didalam pelukan sahabat.
***
Pemakaman Axel telah selesai, kini waktunya mereka kembali kerumah dan berhenti untuk menangisi kepergian Axel.
Ya, Alger tahu ini yang tebaik untuk Axel. Sahabatnya, sudah sangat terpuruk selama berbulan-bulan di dalam rumah sakit.
Berbagai jenis suntikan, dan berbagai jenis obat sudah di cobanya. Berbagai jenis selang sudah pernah memasuki tubuhnya. Dan berbagai jenis alat, pernah digunakannya. Ya, mungkin Axel lelah menghadapi itu semua. Tubuhnya sudah tak mampu lagi menerima asupan-asupan medis yang hanya berefek sementara pada tubuhnya.
Tak jarang, Alger melihat Axel menangis sendirian diatas tempat tidurnya. Ya, Alger tahu, Axel kesakitan selama ini. Tapi, Axel selalu berusaha untuk tidak terlihat sakit didepannya. Axel selalu berusaha agar terlihat baik-baik saja, dan Axel selalu tersenyum saat semua mengkhawatirkannya.
Ya, Axel sekuat itu. Axel setegar itu.
Mengingat itu, air mata Alger tiba-tiba kembali mengalir begitu saja. Dia cengeng, memang. Dia benar-benar merasa kehilangan. Sangat amat merasa kehilangan.
"Kak, nih diminum dulu." Buru-buru Alger menghapus air matanya, dan mengambil segelas air yang Steva berikan padanya.
"Makasih."
Steva mengangguk. "Kak Axel udah nggak kesakitan lagi sekarang, dia udah tenang disana." Ucap Steva sambil tersenyum kearah Alger.
"Harusnya Kak Alger yang nyemangatin kamu, bukan sebaliknya." Ucap Alger sambil menaruh gelas yang sudah ia minum diatas meja didepannya.
Steva tertawa kecil. "Steva tau ini akan terjadi. Dan Steva udah bisa mengantisipasi, karna Steva pernah kehilangan Ibu sebelumnya." Alger mengangguk kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Algeraldi [Completed]
Novela JuvenilAlger story. Untuk menjadi pribadi yang supel itu susah, apalagi untuk orang yang sudah di anugrahi irit berbicara tetapi otak bekerja seperti Alger. Sedih, diem. Marah, diem. Seneng, diem. Sampe suka sama orangpun, dia diem. Pinginnya action, tap...