"Tadi—gue ketemu Dira Ger."
"Ohya?"
Fahri mengangguk.
"Ger, sorry ya." Alger mengangkat sebelah alisnya.
"Apaan?"
"Maaf."
"Buat?"
"Hubungan lo jadi kaya gini sama Dira." Alger semakin mengangkat sebelah alisnya. Ia tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Fahri.
"Gue ngga ngerti." Ucap Alger sambil mengaduk susu yang ia buat untuk Steva yang kini tengah berada di dalam kamarnya. Ya benar. Alger dan Fahri kini tengah berada di kediaman Steva, dan Axel tentunya. "Nih, anterin sana ke kamar Steva. Gue mau ke rs."
"Ger."
"Hm."
"Mulai sekarang, gue yang akan jaga Steva sepenuhnya. Lo fokus aja sama Dira." Ucap Fahri sambil menahan tangan Alger. "Selama ini Dira selalu lo abaiin, biarin kali ini Steva gue yang jaga."
"Apaan sih, enggak ah."
"Ger, apa lo ngga kasian sama Dira? Mungkin keliatannya aja dia kuat, tapi gimana pun itu dia juga cewe Ger. Dan lo musti perhatiin dia. Gue rasa, selama ini lo ngga pernah kasih itu ke Dira. Lo menumpahkan perhatian lo ke orang yang salah Ger. Bukan Steva yang harus lo perhatiin, tapi Dira."
"Steva juga tanggung jawab gue."
"Axel Cuma terlalu khawatir sama Steva, dan itu totally bukan tanggung jawab lo."
Alger menatap Fahri tajam.
"Kenapa sih?" Tanya Alger. "Lo aneh!"
"Gue—gue ketemu Dira. Dan gue ka-kasian sama dia."
Alger tertawa sinis. "Bohong banget."
"Ger."
"Ngomong yang jelas, ada apa?" Tanya Alger dengan nada yang dingin.
"Sorry."
"Maaf terus. Bosen gue dengernya." Ucap Alger sambil mengambil kunci mobilnya. "Gue tau ada yang lo sembunyiin, gue ngga tau itu apa, tapi gue yakin selama ini ada yang lo tutupin dari gue."
"Bilangin ke Steva, balik dari rs, gue kesini lagi."
***
"DARIMANA AJA KAMU KAK?!"
Sahutan dingin Ayahnya terdengar saat Alger baru saja membuka pintu utama rumahnya.
Ya, lagi-lagi Alger pulang telat tanpa memberi kabar.
Dan ini sudah bukan yang pertama, kedua atau ketiga kalinya. Tapi hampir berulang-ulang kali semenjak beberapa bulan yang lalu.
"Maaf Yah."
"Ayah beliin kamu HP untuk apa? Ayah selalu beliin pulsa untuk kalian semua buat apa? Sesusah itu Kak, ngabarin orang rumah?" Tanya Dylan dengan nadanya yang dingin.
"Hp Kakak Mati, Yah."
"Kamu punya powerbank. Nggak usah ngeles, Ayah nggak suka."
"Maaf."
Dylan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Duduk!"
Alger yang sedari tadi berdiri di depan pintu, langsung mengikuti perintah Ayahnya untuk duduk di ruang tamu keluarganya.
"Cape Kak, Ayah sama perilaku Kakak akhir-akhir ini!" ucap Dylan sambil menyimpan Laptopnya yang tadi berada di pangkuannya keatas meja. "Nggak ada terbuka-terbukanya sama keluarga! Kamu anggap rumah apa, hah?! Tempat persinggahan kamu tidur doang? Atau tempat kamu nyimpen barang-barang kamu doang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Algeraldi [Completed]
Teen FictionAlger story. Untuk menjadi pribadi yang supel itu susah, apalagi untuk orang yang sudah di anugrahi irit berbicara tetapi otak bekerja seperti Alger. Sedih, diem. Marah, diem. Seneng, diem. Sampe suka sama orangpun, dia diem. Pinginnya action, tap...