Prilly duduk dengan lutut sebagai tumpuannya, mengingat ia yang tak percaya dengan Ali, Ali suaminya sendiri.
Pernyataan pak Tris, membuatnya lemas seketika seakan ia tak mempunyai tenaga sama sekali.
"Non, tuan Ali kemana?" Prilly, yang tadi masih mencerna ucapan Ali tersadar ketika Tris masuk kedalam apartement itu.
"Keluar pak"
Prilly berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air matanya didepan pria kepercayaan suaminya yang sudah berumur sekitar 48 tahun itu.
Tris yang melihat Prilly menundukkan kepalanya dengan tangan yang memegang ujung meja mengernyit, kemudian masuk kedalam.
"Non Prilly kenapa?"
Tris tersentak kaget ketika istri dari tuannya ini menjatuhkan air matanya begitu deras.
"Non kenapa? Non kenapa menangis?" Prilly menggeleng kemudian mengusap air matanya kasar.
"Pak Tris cari Ali kenapa?"
"Ini non, mau mengabarkan jika Mario melarikan diri, dan ternyata Jusi yang ada dibalik kabakaran villanya tuan Ali?"
"Apa bener pak, Mario juga ikut membakar villa kak Ali?"
"Setau saya memang Mario yang membakarnya, Jusi atau papanya Mario yang ada dibalik ini semua non, dari dulu Jusi memang berseteru dengan tuan Edward dan papanya non, tuan Reymond"
"Pak Tris boleh antar saya pulang ke Jakarta?" tanya Prilly.
"Tapi tuan Ali kan disini non?"
"Pak saya mau balik ke Jakarta saya mohonnn" ucap Prilly, tak terasa air matanya kembali mengalir dengan deras. Ia butuh penjelasan, sejelas jelasnya sekarang dan hanya orang tuanya yang paling ia percaya.
"Baik non, tapi saya perlu izin tuan Ali dulu"
"Gak usah pak, biar saja"
"Tap..
"Pak Tris mau antar saya, atau saya pulang sendiri" pekik Prilly. Tris tersentak kaget, sepertinya tuannya ini sedang ada masalah dengan istrinya.
"Baik non, kalau begitu saya siapkan mobil dan urus kepulangan non ke Jakarta, saya permisi dulu" Prilly hanya diam saja menghiraukan Tris yang sudah berlalu.
Saat itu ia langsung ambruk dengan lutut sebagai tumpuannya dan air matanya yang terus mengalir deras.
Mengingat hal itu Prilly merutuki kebodohannya, Apa Ali begitu marah terhadapnya, hingga mengucapkan kata itu.
Sungguh Prilly tak ingin perpisahan.. bukan.. bukan ia takut janda diusia muda tapi ia merasa sudah nyaman dengan kehadiran Ali.Yang diucapkan Ali benar, meskipun dirinya dan Ali tak mencintai... ralat mungkin Ali yang tak mencintainya. Tapi bagaimanapun Ali adalah suaminya, janji Ali agar tak ada yang ketiga dalam pernikahan masih terngiang ngiang dikepalanya.
Tapi seharusnya, Prilly mempercayai Ali, bahkan Prilly tega mengatakan jika pebisnis rela melakukan apapun demi keuntungan, padahal beberapa bulan menikah, Ali tak pernah bersikap kasar padanya, selalu memenuhi semua kebutuhannya, bahkan Ali rela berbicara pada guru piket agar Prilly dapat izin beberapa jam lalu, tapi kenapa ia tak bisa mempercayai Ali?
Prilly langsung beranjak berdiri mengusap air matanya kasar dan mengambil koper yang tergeletak dilantai, bahkan rencana liburan di Bali harus berujung tragis, dengan kesedihan. Baju baju dalam kopernya saja belum ia pindah dalam almari.