#31

2.1K 77 37
                                    

Mungkin ini awal dari perjuangan untuk melupakanmu. Seperti isi janji yang kamu minta.

****

Aletha duduk bersandar pada kursi kebesaran yang dulu milik ayahnya. Rio. Dengan salah satu tangan memegang kertas dan yang satunya memijat pelipisnya.

Kertas yang dia pegang bisa rusak kapan saja, karena sudah kemakan usia dan kerap kali dia baca, lalu dilipat lagi. Setiap kali Aletha membaca surat itu, dia tidak bisa membendung air matanya sendiri.

Sekarang hari Kamis, waktu untuk dia menjenguk ayah dan Vanonya. Untuk melepas rindu yang bersemayam di dalam hati. Ya, Vano dimakamkan di Brazil. Itu atas permintaan Vano sendiri.

Aletha melipat kertas bergoreskan tinta hitam yang sudah ada beberapa kata yang memudar. Terkena air matanya salah satu penyebabnya. Dia menaruh kertas itu di dalam saku jas yang dia kenakan.

Aletha mengambil jaket kulitnya dan mengambil barang-barang pribadinya yang dia simpan di dalam laci mejanya. Lalu, dia berjalan meninggalkan ruang kerja milik Rio dulu.

Baru saja Aletha keluar dari dalam kantornya dan dia juga baru saja duduk di kursi kemudi mobilnya. Dia kembali membuka pintu, lalu berlari menuju jalanan.

"Permisi, Tuan, apa bisa saya bantu? Menyeberang mungkin, atau saya antar ke tempat tujuan Anda?" tanya Aletha kepada seorang pria yang menggunakan kacamata hitam, bertopi, memakai jaket tebal, dan membawa tongkat panjang.

Pria itu tersenyum, "apa merepotkan?"

"Tentu saja tidak. Saya tahu apa yang Anda lihat sekarang."

"Gelap tanpa sinar sekecil apa pun," ucap pria itu sambil tersenyum.

"Baik, Tuan, tempat mana yang akan Anda tuju, akan saya antar ke sana."

"Saya ingin pergi ke kafe yang ada di dekat perempatan jalan sana."

Aletha menoleh ke jalanan dan berusaha mencari kafe yang pria itu maksud. Setelah tahu di mana letak kafe itu Aletha langsung mengangguk.

"Mari, saya antar."

Aletha menarik lembut lengan pria yang lebih tinggi sedikit darinya itu. Membawa pria itu menuju mobilnya. Setelah membantu pria itu untuk masuk ke dalam mobil, Aletha langsung berlari mengelilingi mobil. Membuka pintu, lalu duduk di balik kemudi.

Aletha menstarter mobilnya, setelah menunggu beberapa saat dia langsung menginjak pedal gasnya. Beberapa kali Aletha mencuri pandang ke orang yang duduk di sampingnya.

Aletha tersenyum ketika melihat mata pria itu dari samping. Andai dia yang menjadi pria itu, mungkin sampai sekarang Renonya masih ada di sampingnya. Menemani dan menjadi matanya selama yang dia bisa.

Sayang, apa uda waktunya gue ngelupain elo? Tapi, gue masih gak yakin, batin Aletha, beberapa saat kemudian mobil berhenti.

"Yap, sudah sampai. Tunggu di sini, dan akan saya bantu keluarnya nanti." pria itu mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya.

Aletha yang mendapat senyum itu menjadi hangat hatinya. Senyum yang hampir sama dengan senyum laki-laki yang membuatnya dapat melihat setiap warna di dunia ini, setelah kegelapan menghantuinya.

Aletha turun, lalu berlari agar sedikit lebih cepat. Dia tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi. Dengan cekatan Aletha membantu pria itu keluar dari mobilnya. Bahkan salah satu tangannya dia taruh di atas kepala pria itu untuk melindungi bila saja menabrak bagian atas mobilnya.

Aletha menuntun pria itu memasuki area kafe. Setelah menanyakan di mana dia akan duduk, Aletha masih setia menuntun pria itu. Jika saja itu Reno, sudah pasti kejadian beberapa tahun lalu terulang kembali, hanya saja kebalikannya.

alvino✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang