PART 11

3K 541 77
                                    

Tetangga Baru





“Ayo kita jadi tetangga yang damai.”
- Jae Arkha





-





Suara ramai beberapa orang yang bisa gue tebak sedang memindahkan barang ke apartemen sebrang, menyambut pendengar dipagi hari ini. Sekarang jam tujuh lewat lima belas menit, gue membuka selimut dengan kesal karena kericuhan didepan membuat tidur gue merasa terganggu. Gue bangkit dan terduduk, mengacak-acak rambut seperti orang frustrasi sembari berdecak berkali-kali.

Tok! Tok! Tok!

Suara beberapa kali ketukan yang terdengar dari pintu utama, terdengar secara tiba-tiba. Gue mendengkus, segera bangkit kembali dari ranjang tidur, kemudian melangkahkan kaki keluar kamar untuk membukakan pintu dan melihat siapa sih yang berani-beraninya mengetuk pintu apartemen gue? Dan disisi lain, gue berharap bukan Winar yang datang. Karena gue nggak mau amarah gue tertahan lagi gara-gara senyumnya yang menyejukkan seperti minuman dingin itu.

Dengan rambut yang sedikit acak-acakan, dan wajah khas bangun tidur, gue pun membukakan pintu. Bodo amat apa kata orang nanti yang melihat penampilan gue, yang belum sempat diperbaiki ini. Hm.

Krek

"Duh, apaan sih, pagi-pagi udah ganggu aja! Udah tau saya masih ngantuk!" cerca gue.

"Pagi, tetangga baru yang bawel."

Gue membuka mata lebar-lebar, dan mendongak. Akhirnya gue dibuat menganga, saat mendapati Jae yang tengah berdiri dihadapan gue dengan hanya memakai kaos dalam berwarna putih, dan bawahannya memakai celana boxer bergambar spiderman. Dengan nggak tahu dirinya, Jae tersenyum—yang terlihat menjijikkan—kearah gue yang masih tak bergeming sama sekali.

"What the fuck." Umpat gue tak percaya.

Jae menghela napas kasar sembari melirik kearah lain, namun tak lama kemudian dia menatap kearah gue lagi. "Bahasanya tolong dijaga ya. Perempuan itu gak baik ngomong kasar."

"Lo ngapain pagi-pagi ada disini!?" tanya gue dengan nada sewot.

Jae menunjuk kearah belakang, dimana ada beberapa orang sedang memindahkan beberapa barang masuk kedalam apartemen sebrang—yang sepeti Jae bilang semalam bahwa cowok itu akan pindah kesana— sedangkan gue kembali bungkam.

"Gue kan udah bilang sama lo semalam, kalo gue bakal pindah. Dan kita bakal jadi tetangga, ck, demi apapun ya, gue masih nggak nyangka kalo kita itu tetanggaan."

"KENAPA LO HARUS PINDAH KE APARTEMEN SINI SIH, AYAM. KENAPA GAK KE APARTEMEN YANG LAIN AJA."

Jae menutup kedua telinga saat mendengar gue teriak, membuat orang-orang yang mengangkat barang-barang Jae langsung menoleh kearah gue dan memandang gue dengan tatapan kebingungan. Jae segera meletakkan jari telunjuknya diatas bibir gue, sukses membuat gue diam kembali.

"Ssst! Lo tuh ya, pagi-pagi kenapa berisik amat sih? Nggak malu apa sama tetangga yang lain?" celetuk Jae.

Gue menepis tangan Jae. "Lo yang bikin gue emosi pagi-pagi."

"Lo-nya aja yang sensian, coba dibawa tenang sedikit. Gak usah pake otot."

Gue berdecak, kemudian berkacak pinggang. "Heh ayam, gue nggak bakal emosi kalo sikap menyebalkan lo itu nggak ditunjukin ke-gue! Mikir dong pake otak, oh iya, gue lupa.. Ayam kan ga punya otak."

"Sial." Umpat Jae, dia ikut berkacak pinggang. "Heh donat, gue tegasin sekali lagi ya kalo lo-nya aja jadi cewek sensian! Lo kalo menstruasi setiap hari ya? Bawaannya ngomel-ngomel terus, apalagi sama orang ganteng sama gue. Ah, atau jangan lo emang udah sedikit nggak waras kali ya."

True Friends Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang