Menjauh Lagi
“I miss you.”
-
Tiga bulan berlalu, hubungan gue dengan Winar berjalan dengan baik, kehidupan gue sehari-hari pun juga sama. Cuma, ada satu hal yang mungkin memang sedikit berubah didalam sebagian hidup gue, yaitu hubungan gue dengan Jae. Semenjak hari itu saat Winar mengungkapkan kepada Jae, bahwa gue dan Winar sudah jadian, gue merasa kalau jarak gue dan Jae agak dibatasi. Bukan gue yang membuat jarak, melainkan Jae sendiri.
Hubungan gue masih berjalan baik sih sebenarnya, cuma, gue sedikit ngerasa ada yang beda dari sebelum-sebelumnya setelah Jae tahu kalau gue sudah jadian dengan Winar. Kami nggak se-akrab dulu lagi. Hahh, yang biasanya Jae pagi-pagi udah nongkrong di ruang tengah gue sambil nonton plus makanin camilan di meja tamu, sekarang udah nggak ada. Yang biasanya suka rusuh saat gue masih tidur, sekarang gue nggak ngerasain hal itu lagi. Yang biasanya suka nemenin gue pas malam saat gue nggak bisa tidur, sekarang udah benar-benar nggak ada.
Jae benar-benar jarang kemari untuk sekadar main atau minta makanan, kemari pun jika ada sesuatu yang mendesak seperti ia kehabisan deterjen cuci baju dan malas untuk membeli keluar, ataupun meminjam remote televisi mengingat televisi kami jenisnya sama. Sekarang, sekadar berbasa-basi pun rasanya susah sekali. Dan entah kenapa, setiap malam ataupun setiap saat, gue selalu mengingat hal tersebut. Tapi gue nggak bisa apa-apa, Winar sangat cemburuan dengan hal yang berkaitan dengan Jae, hingga gue harus dengan susah payah menjaga perasaannya juga.
Pernah juga gue terpikirkan, gue menyesal jadian dengan Winar karena pada akhirnya bisa membuat hubungan gue dan Jae bakal jadi seperti ini lagi, kayak waktu sama Azka dulu tapi dengan versi yang berbeda. Disisi lain, kalau gue nggak nerima Winar waktu itu, mungkin suatu saat gue bakal menyesal karena udah nolak dia. Dan gue pun bingung sendiri, sampai setiap hari, setiap jam, setiap detik, setiap menit, pokoknya setiap saat, kadang gue melamun kayak anak ayam yang sawan hanya karena mikirin hal beginian. Gue mau cerita ke Amora ataupun Nara, tapi entah kenapa hati gue belum merasa siap buat menceritakan hal seperti ini kepada mereka.
TAPI GUE BUTUH TEMAN CURHAT!
Gue menghela napas, menyenderkan kepala diatas meja kelas, kemudian memejamkan mata agar pikiran gue terasa agak tenang dan lebih ringan dari sebelumnya. Dan belum lama saat gue memejamkan mata, sebuah tepukan mendarat dibahu gue dengan pelan sehingga gue harus kembali membuka mata, kemudian menatap oknum yang sudah berani-beraninya mengganggu ketenangan yang ingin gue rasakan saat ini. Ternyata, oknum tersebut adalah Amora, ia menatap gue dengan raut wajah yang sedih, membuat gue yang tadinya mau ngomel; langsung nggak jadi.
Cewek itu langsung duduk disamping gue tanpa berpikir panjang, matanya, hidung dan pipinya sudah terlihat memerah; menandakan bahwa ia ingin menangis. "Kenapa lo?" Gue membuka suara sambil terus menatapnya keheranan. Tetapi ia hanya diam, sama sekali nggak menjawab pertanyaan gue. Sampai pada akhirnya, tetesan air mata jatuh pada pipinya.
Gue panik, "Lah? Kok nangis sih, anjir? Lo kenapa, Ra?" Tanya gue sambil mengusap punggungnya dengan lembut. Amora masih nggak mau menjawab, dan parahnya lagi, tangisannya menjadi lebih kencang hingga setiap orang yang berlalu lalang didepan kelas langsung menoleh kedalam kelas kami. Dan gue, hanya bisa berusaha buat nenangin Amora yang tiba-tiba nangis ini.
***
Tiga jam pun berlalu, akhirnya jam kuliah gue berakhir dengan sangat lancar. Tapi mungkin tidak bagi Amora, selama jam kuliah berjalan tadi, ia kurang fokus dan kebanyakan melamun dengan mata yang kelihatan sembab. Sampai-sampai Pak Ravi menanyakan keadaan Amora, takut jikalau Amora sedang tidak enak badan atau gimana, tapi disaat seperti itu pun Amora hanya menjawab bahwa ia baik-baik saja. Dan sekarang gue masih berdua sama dia di kelas, saat semuanya sudah keluar duluan.

KAMU SEDANG MEMBACA
True Friends
Fanfiction"Teman sejati antara cewek dan cowok itu harusnya nggak boleh pacaran, tapi bolehnya langsung ***** aja." Copyright © 2018, mjoaxxi.