Dua Puluh Tiga

10.4K 804 57
                                    

Belanja bulanan adalah hal paling menyenangkan buat Adis. Karena hanya alasan ini yang membuat Davin mengizinkannya untuk keluar dari batalyon. Nggak apa-apa deh mesti dikawal Om Surya --anak buah Davin lantaran nggak bisa anter; sibuk kerja.

Adis memasuki salah satu pusat perbelanjaan ternama di Sorong --Mega Mall. Bukan jenis mall yang bagus dan mewah macam di Jawa. Mega Mall ini kalau dibandingkan dengan mall-mall di Jawa ya sangat berbeda jauh. Terdiri dari tiga lantai saja, lantai pertama supermarket, lantai dua pakaian, lantai tiga tempat games.

Mall sederhana tapi lumayan membuat mood kembali normal. Om Surya memilih menunggu di Mega Cafe. Nggak enak kalau harus ngikutin Adis belanja. Dalam hati sih Adis bersyukur banget. Jangan tanya kok bisa Letnan punya ajudan? Sebenarnya bukan ajudan tapi itu hanya akal-akalan Davin saja sebagai bentuk protect ke Adis.

Adis mendorong troli menyusuri deretan rak-rak. Memasukkan apa saja yang menurutnya harus menghuni isi dapur. Di depan sebuah rak sabun, Adis setengah mendongak. Duh, itu sabun yang biasa ia pakai tapi kenapa ditaruh di rak teratas.

"Ck! Cara ngambilnya gimana?" decak Adis seraya celingukan, mencari pelayan yang biasanya lewat. Sayangnya nggak ada, entah dimana. Mau nggak mau Adis harus berusaha sendiri buat ngambil. Tangannya sudah terulur, kedua kaki sudah berjinjit bersamaan dengan tangan lain yang mengambil botol sabun itu. Adis seketika menoleh. Alisnya terangkat tinggi. Mendadak lidahnya kelu ingin bicara nggak bisa.

Tristan sudah di sana. Entah kebetulan atau memang disengaja. Cowok itu sudah berdiri di hadapan Adis. Tangan kanannya terulur menyerahkan botol sabun.

"Sabunnya nggak pernah ganti," komentar Tristan. Melihat Adis diam saja, cowok itu berinisiatif memasukkan botol sabun ke troli Adis.

"Sendirian aja belanjanya?" tanya Tristan berusaha mengajak Adis ngobrol. Adis menelan ludah susah payah.

"Oh ... engg~ ada Om Surya. Nunggu di cafe depan," jawab Adis gelagapan. Tristan menarik seulas senyum.

"Sejak kapan danki punya ajudan?" Tristan setengah menyindir. Adis menggigit bibir bawahnya. Tristan melirik Adis sekilas.

"Cuma nganter kok bukan ngawal." Adis refleks membela Davin. Ucapannya barusan membuat Tristan setengah terkejut.

"Wow. Penyalahgunaan perintah nih," ucap Tristan semakin memojokkan. Adis menghela napas pelan. Nggak niat menanggapi. Karena Adis tahu kalau ditanggapi pasti buntutnya akan jadi ribut.

"Duluan, Om," ucap Adis dingin. Mendorong trolinya menjauhi Tristan. Menyadari dia sudah salah bicara, Tristan buru-buru mengejar Adis.

"Dis! Tunggu!" ucap Tristan. Dengan terpaksa Adis menghentikan langkah. Memiringkan tubuh setengah menghadap Tristan.

"... Maaf," lirih Tristan. Adis menunduk dalam. Meredam perasaan aneh yang kembali memenuhi rongga paru, membuat sesak. Tristan menatap lekat-lekat cewek di depannya itu dengan nanar.

"Dis, aku ... di sini. Bisa lihat aku?" pinta Tristan terbata. Jantungnya berdegup lebih cepat. Kedua tangannya mulai terasa kebas. Perlahan Adis mendongakan kepala. Menemui pandangan Tristan. Ada rasa bersalah yang diam-diam menghantui Adis selama ini. Tristan menarik seulas senyum.

"Aku temani belanja, mau ya?" tawar Tristan penuh harap.

"... Okay," jawab Adis cepat. Tristan setengah kaget sekaligus senang. Buru-buru mengambil alih kendali troli dari tangan Adis. Tristan melangkahkan kaki lebih dulu, sesaat Adis hanya bisa menghela napas. Menatap punggung Tristan dengan senyum dikulum.

Belanja ini dan itu. Jalan sana jalan sini. Dari sudut kanan ke sudut kiri. Pokoknya memutari supermarket menghabiskan waktu berdua. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang diam-diam mengawasi dari kejauhan.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang